PENGARUH LINGKUNGAN KELUARGA, SEKOLAH DAN MASYARAKAT TERHADAP
PERSEPSI GENDER MAHASISWA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
MAKALAH
Makalah
ini dibuat untuk memenuhi Tugas Mandiri
Mata
Kuliah : Kajian Gender dalam Pendidikan
Dosen
Pengampu : Euis Puspitasari, SE, M.Pd
Disusun
Oleh :
Jalil
1410140097
FAKULTAS
TARBIYAH
JURUSAN/SEMESTER :TADRIS.IPS-C/V
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
TAHUN
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, sumber pemilik ilmu pengetahuan yang dengan
ilham dan kekuatan dari-Nya, saya telah menyelesaikan tugas makalah mandiri dengan
judul “Pengaruh Lingkungan Keluarga, Sekolah Dan Masyarakat Terhadap Persepsi
Gender Mahasiswa Laki-Laki Dan Perempuan”.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak lepas dari
bantuan, bimbingan, dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala
kerendahan hati kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Orang
tua penulis yang selalu mendoakan serta mendukung penulis baik dalam bentuk
moril maupun materi agar tugas makalah ini dapat cepat selesai.
2. Ibu Euis
Puspitasari, SE, M.Pd selaku dosen
bidang Kajian Gender dalam Pendidikan. Semoga semua bimbingan, dorongan,
baik moril maupun materi yang telah diberikan mendapatkan pahala yang berlipat
ganda dari Allah SWT Amin.
Saya
menyadari banyak sekali kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Untuk itu,
kritik dan saran diharapkan dari pembaca sekalian demi perbaikan makalah saya
selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi kami dan umumnya bagi pembaca sekalian.
Cirebon, Oktober 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………. i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………. ii
BAB I
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang …………………………………………………. 1
B.
Rumusan Masalah ………………………………………………. 2
C.
Tujuan
Pembuatan Makalah ….………………………………… 3
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pendidikan.................................................................................... 4
B.
Gender.......................................................................................... 4
C.
Mahasiswa .................................................................................... 6
D.
Pengusaha .................................................................................... 6
E.
Lingkungan .................................................................................. 7
F.
Perbedaan Gender dan Jenis Kelamin........................................... 11
G.
Konsekunsi Lahirnya Ketidak Adilan Gender............................... 13
H.
Teori Melahirkan Faham Feminisme............................................. 14
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan ………………………………………………………… 17
B.
Saran ………………………………………………………………... 18
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………... 19
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Dahulu bila kembali melihat ke belakang pada sejarah
Indonesia, pada umumnya yang lebih banyak bersekolah adalah laki-laki. Angka
partisipasi sekolah untuk anak perempuan selalu lebih rendah daripada anak
laki-laki dan jenis pendidikan yang didapatkan oleh anak laki-laki dan
perempuan pun berbeda. R.A Kartini adalah seorang pejuang perempuan pertama
yang berupaya menegakkan emansipasi perempuan, menginginkan pendidikan formal
perempuan sama dengan laki-laki. Namun perjuangan R.A Kartini membutuhkan waktu
yang cukup lama untuk terwujud karena hingga tahun 1990 perempuan yang
bersekolah (mengenyam pendidikan formal) lebih rendah 75 juta orang daripada
laki-laki dan dari jumlah yang buta huruf ternyata dua pertiga adalah
perempuan. Rendahnya tingkat pendidikan ini membuat ketimpangan gender semakin
tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat.
Akhirnya perjuangan yang dilakukan oleh R.A Kartini
lama-kelamaan semakin menunjukkan hasilnya. Hal ini terbukti dari Laporan
Pencapaian Millenium Development Goals (MDGs)[1].
Indonesia Tahun 2007, Angka Partisipasi Murni (APM) anak perempuan terhadap
anak laki-laki pun cenderung meningkat. Jika pada periode sebelumnya (1992-
2002), rasio APM SMA/MA perempuan rata-rata hanya 98,76 persen pertahun maka
pada periode 2002-2006 rasio APM meningkat menjadi rata-rata 99,07 persen
pertahun. Pada jenjang perguruan tinggi juga mengalami kecenderungan yang sama,
rasio APM perguruan tinggi perempuan meningkat dari rata-rata 85,73 persen
(1992-2002) menjadi 97,24 persen (2003-2006). Peningkatan pendidikan ini
diharapkan dapat menghapus adanya ketimpangan gender yang berkembang di dalam
kehidupan masyarakat.
Walaupun tingkat pendidikan masyarakat baik laki-laki maupun
perempuan telah meningkat namun masih menimbulkan suatu pertanyaan besar bahwa
hingga saat ini ketimpangan gender tetap tumbuh subur dalam kehidupan
masyarakat, contohnya yaitu pada pemilihan jurusan di sekolah lanjutan dan
perguruan tinggi. Pemilihan jurusan pada tahun ajaran 2002/2003, siswa
perempuan yang bersekolah di SMK program studi
Teknologi Industri hanya satu
persen, studi Pertanian dan Kehutanan sekitar 12,9 persen, untuk bidang Bisnis
dan Manajemen sebanyak 64,9 persen, dan bidang Pariwisata mencapai 94 persen
(UNESCO/LIPI, 2005)2. Ketimpangan gender dapat pula diketahui di kalangan
tenaga pengajar dan kepala sekolah. Sudarta (2008) mengungkapkan bahwa walaupun
tidak ada data kuantitatif, secara kualitatif kenyataan menunjukkan bahwa untuk
Sekolah Taman Kanak-kanak tenaga pengajar didominasi oleh perempuan.
Berbeda dengan SD sampai
dengan jenjang pendidikan di Perguruan Tinggi, tenaga pengajar laki-laki lebih
dominan daripada tenaga pengajar perempuan. Kecenderungan yang serupa juga
terlihat di kalangan kepala sekolah dan pimpinan universitas. Hal
inimenunjukkan bahwa dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi dimana
terdapat orang-orang yang telah berpendidikan tinggi ketimpangan gender masih
tetap ada
Perguruan tinggi merupakan
tempat dimana terjadi pendidikan dan latihan akademis yang terkait dengan
profesi tertentu (Semiawan, 1999). Perguruan tinggi bertugas membentuk
mahasiswanya menjadi kaum intelegensia dan motor penggerak dalam penyebaran
ilmu pengetahuan. Mahasiswa adalah seseorang yang sedang dalam proses menimba
ilmu ataupun belajar dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada salah satu
bentuk perguruan tinggi, yang terdiri dari akademik, politeknik, sekolah
tinggi, institut dan universitas (Hartaji, 2009). Melalui mahasiswa diharapkan
permasalahan ketimpangan gender yang ada dalam masyarakat dapat berkurang,
namun pendidikan yang diterima mahasiswa tidak hanya berasal dari perguruan
tinggi tetapi juga berasal dari keluarga yang merupakan tempat pertama
pendidikan diterima oleh mahasiswa dan masyarakat yang merupakan tempat
mahasiswa melakukan sosialisasi serta bergaul dengan teman-teman sebayanya.
B.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun
permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah
pengaruh lingkungan keluarga terhadap persepsi gender mahasiswa?
2.
Bagaimanakah
pengaruh lingkungan sekolah terhadap persepsi gender mahasiswa?
3.
Bagaimanakah
pengaruh lingkungan masyarakat terhadap persepsi gender mahasiswa?
4.
Apakah perbedaan
faktor pengaruh yang terdapat di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat
terhadap persepsi gender mahasiswa?
C.
Tujuan
Berdasarkan perumusan masalah, diperoleh tujuan
penulisan sebagai berikut :
1.
Menganalisis
pengaruh lingkungan keluarga terhadap persepsi gender mahasiswa.
2.
Menganalisis
pengaruh lingkungan sekolah terhadap persepsi gender mahasiswa.
3.
Menganalisis
pengaruh lingkungan masyarakat terhadap persepsi gender mahasiswa.
4.
Mengetahui
perbedaan faktor pengaruh yang terdapat di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat
terhadap persepsi gender mahasiswa..
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
PENDIDIKAN
Menurut
Brown (1961) dalam Ahmadi (2004) pendidikan adalah proses pengendalian secara
sadar dimana perubahan-perubahan di dalam tingkah laku dihasilkan di dalam diri
seseorang melalui kelompok. Sudarta (2008) mengemukakan bahwa pendidikan
merupakan proses penerusan nilai oleh pendidik (guru atau dosen) kepada anak
didik (siswa atau mahasiswa). Begitu juga dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa: “Pendidikan adalah
usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran dan atau latihan bagi penerapannya di masa yang akan datang” (pasal
11 ayat 1). Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan suatu proses penerusan
nilai secara sadar dari pendidik yang berupa bimbingan, pengajaran, dan atau
latihan kepada anak didik yang akan diterapkan di masa yang akan datang
sehingga akan terjadi perubahan-perubahan di dalam diri anak didik.
B.
GENDER
Gender
menurut Handayani dan Sugiarti (2008) adalah suatu konsep sosial yang
membedakan (dalam arti memilih atau memisahkan) peran antara laki-laki dan
perempuan. Menurut Wiliam (2006) gender memuat perbedaan fungsi dan peran
sosial laki-laki dan perempuan, yang terbentuk oleh lingkungan. Gender sama
sekali berbeda dengan jenis kelamin. Gender bukan jenis kelamin.
Pengetahuan
masyarakat tentang gender merupakan suatu hal yang penting untuk dibahas saat
ini. Hal ini disebabkan oleh pengetahuan gender masyarakat akan mempengaruhi cara
masyarakat memperlakukan orang lain baik itu laki-laki maupun perempuan. Tinggi
atau rendahnya pengetahuan masyarakat tentang gender pada umumnya didapat dari
hasil pendidikan yang telah dijalani. Pengetahuan masyarakat tentang gender
dikatakan tinggi apabila masyarakat tidak lagi membedakan peran dan fungsi
antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Begitu juga
sebaliknya pengetahuan masyarakat tentang gender dikatakan rendah apabila
masyarakat masih membedakan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan
dalam kehidupan bermasyarakat. Persepsi masyarakat tentang gender sangat
dipengaruhi oleh pengetahuan masyarakat tentang gender itu sendiri. Persepsi
masyarakat tentang gender akan membuat masyarakat mengetahui, memahami, berpendapat
dan berprilaku berbeda kepada seseorang, baik ia laki-laki maupun perempuan.
Menurut
Baron dan Byrne (2005) persepsi merupakan proses yang digunakan untuk mencoba
mengetahui dan memahami perasaan orang lain. Menurut Young (1956)[2]
persepsi merupakan aktivitas mengindera, mengintegrasikan dan memberikan
penilaian pada obyek-obyek fisik maupun obyek sosial, dan penginderaan tersebut
tergantung pada stimulus fisik dan stimulus sosial yang ada di lingkungannya.
David (1998) dalam Najah (2007) mengatakan bahwa dengan persepsi, individu
dapat menyadari, mengerti tentang keadaan lingkungan di sekitarnya dan juga
tentang keadaan diri individu yang bersangkutan. Persepsi juga merupakan
pandangan, pengamatan, atau tanggapan seseorang terhadap benda, kejadian, tingkah
laku manusia atau hal-hal yang diterimanya sehari-hari.
Persepsi
gender adalah proses yang digunakan untuk mencoba mengetahui, memahami dan
memberikan penilaian tentang peran antara laki-laki dan perempuan dalam
lingkungannya. Mengetahui, memahami dan memberikan penilaian di sini maksudnya
adalah suatu proses aktivitas seseorang dalam memberikan kesan, penilaian,
pendapat, merasakan dan menginterpretasikan sesuatu berdasarkan informasi yang
ditampilkan dari sumber lain (yang dipersepsi) mengenai peran laki-laki dan
perempuan dalam lingkungannya.
Persepsi
gender di dalam lingkungan keluarga dipengaruhi oleh pendidikan orang tua dan
proses pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua dalam memberikan pendidikan
kepada anaknya terutama ibu. Di dalam bukunya “ The Twelve Who Survive” Myers
(1990) dalam Hastuti (2008) menyebutkan bahwa anak dapat tumbuh dan berkembang
optimal melalui stimulasi psikososial yang diberikan ibu kepada anak, dan hal
ini tergantung pula pada latar belakang pendidikan ibu, beban kerja ibu serta
persepsi ibu terhadap peran domestiknya.
Pemberian
pendidikan ibu terhadap anaknya terutama pendidikan gender dalam pengasuhan
dapat terlihat dari jenis proses pengasuhan yang diberikan oleh ibu. Proses
pengasuhan akan melibatkan hubungan dan interaksi yang terjadi antara orang tua
dengan anak, keduanya akan terlibat dan berkontribusi dalam membentuk kualitas
hubungan dan perkembangan dari hubungan tersebut. Hal ini berarti setiap orang
tua akan membawa sejarah bagaimana mereka dahulunya berinteraksi dengan orang
tua mereka dahulu dalam membentuk hubungan dengan anak (Rohner (1987) dalam
Hastuti (2008)) dan pendidikan yang telah mereka jalani. Selain itu apabila ibu
lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja maka proses pengasuhan dan
pemberian pendidikan kepada anak tidak dapat dilakukan oleh ibu.
C. MAHASISWA
Susantoro
(2003) dalam Rahmawati (2006) mengatakan bahwa mahasiswa adalah kalangan
muda yang berumur 19-28 tahun yang memang dalam usia tersebut mengalami suatu
peralihan dari tahap remaja ke tahap dewasa. Hartaji (2009) mengungkapkan
mahasiswa adalah seseorang yang sedang dalam proses menimba ilmu ataupun
belajar dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada salah satu bentuk
perguruan tinggi, yang terdiri dari akademik, politeknik, sekolah tinggi,
institut dan universitas. Susanto (2003) dalam Rahmawati (2006)
menyatakan bahwa sosok mahasiswa juga kental dengan nuansa kedinamisan dan
sikap keilmuannya dalam melihat sesuatu secara objektif, sistematis, dan
rasional.
D. PENGASUHAN
Pengasuhan
atau disebut juga “parenting” adalah cara mengasuh anak mencakup pengalaman,
keahlian, kualitas, dan tanggung jawab yang dilakukan orang tua dalam mendidik
dan merawat anak, sehingga anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang diharapkan
oleh keluarga dan masyarakat di mana ia berada dan tinggal (Hastuti, 2008).
Pengasuhan
dilakukan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik anak seperti sandang,
pangan, dan papan, tetapi pengasuhan juga mencakup pemenuhan kebutuhan psikis
anak dan pemberian stimulasi untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan anak
secara maksimal.
Brooks (2001) dalam
Wulandari (2009) mengemukakan bahwa pengasuhan merupakan suatu proses
panjang yang mencakup :
1. Interaksi
antara anak, orang tua, dan masyarakat lingkungannya.
2. Penyesuaian
kebutuhan hidup dan temperamen anak dengan orang tuanya.
3. Pemenuhan
tanggung jawab untuk membesarkan anak dan memenuhi kebutuhan anak.
4. Proses
mendukung atau menolak keberadaan anak dan orang tua.
5. Proses
mengurangi resiko dan perlindungan terhadap individu dan lingkungan sosialnya.
Kelima
proses tersebut sangat menentukan seberapa besar peran orang tua terutama ibu
dan pentingnya kebersamaan ibu dalam pengasuhan untuk memberikan pendidikan
kepada anaknya agar dapat beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungannya.
Kebersamaan ibu dalam memberikan pengasuhan kepada anaknya akan berdampak pada
terbentuknya ikatan (bonding) yang kuat antara ibu dan anaknya dan
pemberian pendidikan pun dapat diberikan secara optimal, sebaliknya apabila
pengasuhan tidak dilakukan bersama dengan ibu akan berdampak pada lemahnya
ikatan antara ibu dan anaknya serta pemberian pendidikan yang terjadi pada saat
proses pengasuhan berlangsung tidak dapat diberikan oleh ibu secara optimal.
E. LINGKUNGAN
1.
Lingkungan Keluarga
Keluarga
adalah unit kesatuan sosial terkecil yang mempunyai peranan sangat penting
dalam membina anggota-anggota keluarganya (Rahayu, 2009). Secara prinsip
keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas dua orang
atau lebih berdasarkan pada ikatan perkawinan dan pertalian darah, hidup dalam
satu rumah tangga di bawah asuhan seorang kepala rumah tangga, berinteraksi di
antara anggota keluarga, setiap anggota keluarga memiliki peranannya
masing-masing dalam menciptakan dan mempertahankan budaya keluarga.
Keluarga
merupakan lingkungan pertama yang dikenal bagi seseorang begitu ia dilahirkan
di dunia. William Bennet dalam Hastuti (2008) mengungkapkan bahwa
keluarga adalah tempat yang paling efektif dimana seorang anak menerima
kebutuhan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan bagi hidupnya, serta kondisi
kondisi biologis, psikologis, dan pendidikan serta kesejahteraan seorang anak
amat tergantung pada keluarga. Jadi untuk menciptakan kesejahteraan bagi anak
maka kesejahteraan keluarga merupakan hal utama yang harus dibangun. Apabila
anak telah sejahtera, maka akan terbentuk anak yang berkualitas, berkompeten,
dan dapat mandiri.
2.
Lingkungan Sekolah
Lingkungan
sekolah adalah suatu kawasan tempat anak-anak diajarkan untuk mendapatkan,
mengembangkan, dan menggunakan sumber-sumber dari keadaan sekitarnya. Sekolah
yang merupakan tempat dimana pendidikan diterapkan dan diajarkan untuk
memandang sesuatu secara objektif sesuai fakta-fakta yang ada, ternyata
terdapat ketimpangan gender. Ada beberapa faktor di lingkungan sekolah yang
menyebabkan ketimpangan gender di bidang pendidikan. Menurut Bemmelen (2003b) dalam
Sudarta (2008) faktor-faktor ketimpangan gender dalam pendidikan adalah
angka buta huruf, Angka Partisipasi Sekolah (APS), pilihan bidang studi,
komposisi staf perngajar dan kepala sekolah. Menurut Sudarta (2008) sendiri
faktor penentu ketimpangan gender adalah masalah lama (sejarah), nilai gender
yang dianut oleh masyarakat, nilai dan peran gender dalam buku ajar, nilai
gender yang ditanamkan guru, dan kebijakan yang timpang gender, sehingga dapat
disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ketimpangan gender adalah :
a. Pilihan
Bidang Studi
Ketimpangan gender terlihat juga dalam pilihan bidang studi.
Hal ini dapat dibuktikan pada sekolah kejuruan, seperti misalnya Sekolah
Kepandaian Puteri (SKP), yakni suatu sekolah khusus untuk anak perempuan,
Sekolah Teknik Menengah (STM) umumnya untuk anak laki-laki dan sebagainya.
Penjurusan di tingkat SLTA, umumnya anak perempuan lebih banyak mengisi jurusan
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), sedangkan anak laki-laki lebih banyak mengisi
jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Berkaitan dengan pilihan fakultas dan
jurusan di Perguruan Tinggi yang dinyatakan oleh Sudarta (2008) bahwa proporsi
laki-laki dan perempuan di fakultas dan jurusan di Universitas Indonesia (pada
tahun 1992/1993) menunjukkan ketimpangan gender yang signifikan. Di samping
itu, Agung Ariani (2002) dalam Sudarta (2008) juga menyatakan bahwa
umumnya perempuan memilih sekolah yang penyelesaian pendidikannya memerlukan
waktu pendek dan cepat bisa bekerja, sebagai alasannya adalah untuk menunjang
ekonomi rumah tangga dan untuk biaya melanjutkan studi saudara laki-lakinya.
b. Nilai
dan Peran Gender yang Terdapat dalam Buku Ajar
Evaluasi terhadap bahan ajar pada tingkat sekolah dasar
misalnya, contoh-contoh seperti ibu pergi ke pasar dan ayah pergi ke kantor
sudah harus direvisi. Demikian juga dengan Anti main masak-masakan dan Budi
main layangan. Sudarta (2008) juga mengungkapkan contoh mengenai sosialisasi
gender di antaranya “Ibu memasak di dapur, Bapak membaca koran”. “Ibu
berbelanja ke pasar, Bapak mencangkul di sawah”. Bentuk seksisme lain adalah
gambar-gambar yang lebih sering menampilkan anak laki-laki dalam kegiatan yang
lebih bervariasi dibandingkan dengan anak perempuan. Selain itu perempuan bisa
tidak tampak dalam pelajaran bahasa. Eliyani (2009) mengemukakan contoh lain
ketimpangan gender dalam buku ajar yaitu bentuk nominal bermakna profesi
seperti peneliti, pilot, pengusaha dan presiden dianggap mengandung makna
laki-laki, karena apabila penyandang profesi tersebut adalah perempuan,
kata-kata itu biasanya dimaknai dengan kata perempuan agar sosok perempuan
termunculkan dalam kata-kata tersebut.
c. Nilai
Gender yang Ditanamkan Oleh Guru
Guru merupakan “role model” yang sangat penting di
luar lingkungan keluarga anak. Disadari atau tidak, setiap orang termasuk guru
mempunyai persepsi tentang peran gender yang pantas. Persepsi itu akan
disampaikan secara langsung atau tidak langsung kepada murid (Bemmelen (2003b) dalam
Sudarta (2008)). Guru taman kanak-kanak dan sekolah dasar lebih memberikan
penguatan positif pada anak perempuan disbanding dengan anak laki-laki dalam
memberi instruksi dan aktivitas bermain. Memasuki sekolah menengah pertama dan
menengah atas, baik oleh guru di sekolah dan orang tua di rumah, menasehati
agar remaja laki-laki tidak cengeng dan remaja perempuan harus bisa memasak.
Selain itu hasil penelitian, dalam dunia sains yang dipaparkan oleh Eliyani (2009)
umumnya juga menunjukkan bahwa tenaga pengajar memiliki persepsi yang sama
dengan masyarakat luas, yaitu sains dan teknologi adalah dunia laki-laki. Sikap
ini membuat mereka merasa wajar bila dalam kelas terdapat hanya sedikit anak
perempuan.
Lebih jauh tenaga pengajar juga cenderung lebih memberikan
perhatian pada pelajar laki-laki daripada pelajar perempuan terutama pada
bidang-bidang yang “dominan laki-laki” (Voyless et al (2007) dalam Eliyani
(2009)), seperti lebih banyak memanggil anak lakilaki, memberikan penghargaan
dan kritik lebih banyak pada anak laki-laki atau di laboratorium memberikan
ekspektasi lebih pada anak laki-laki daripada anak perempuan.
3.
Lingkungan Masyarakat
Masyarakat
adalah sekelompok manusia yang secara relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam
waktu yang cukup lama, mendiami suatu tertentu, memiliki kebudayaan yang sama,
dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut (Horton dan
Hunt, 1999). Jadi lingkungan masyarakat adalah suatu kawasan tempat sekelompok
manusia yang secara relatif mandiri, hidup bersama-sama, memiliki kebudayaan
yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut.
Salah
satu penyebab ketimpangan gender di dalam lingkungan masyarakat adalah budaya.
Banyak yang menganggap bahwa kondisi demikian normal saja. Seumur hidup, telah
melihat suatu fakta bahwa perempuan bekerja di sektor domestik dan laki-laki
mencari nafkah. Anak perempuan main boneka dan anak laki-laki main
mobil-mobilan.
Budaya
yang demikian bukan hanya diterima baik oleh laki-laki tetapi juga perempuan.
Di Indonesia pada dasarnya terdapat suatu budaya kekeluargaan atau kekerabatan
yang mengatur kehidupan masyarakatnya, terdiri dari tiga sistem kekerabatan
yaitu :
1) Sistem
kekerabatan patrilinial yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan
dari garis laki-laki (ayah), sistem ini dianut di Tapanuli, Lampung, Bali dan
lain-lain.
2) Sistem
kekerabatan matrilinial yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan
dari garis perempuan (ibu), sistem ini banyak dianut oleh masyarakat Sumatra
Barat.
3) Sistem
kekerabatan parental yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari
garis laki-laki (ayah) dan perempuan (ibu), sistem ini banyak dianut oleh
masyarakat Jawa, Madura, Sumatra Selatan dan lain-lainnya.
Menurut
Purba (2005) ketimpangan gender selalu dihubungkan dengan perspektif ideologi
patrilinial dan sosialisasi nilai dalam kehidupan rumah tangga. Akibatnya
ideologi patrilinial tersebut tetap dapat mempertahankan ketimpangan gender
dalam kehidupan masyarakat. Selain patrilinial, ideolagi matrilinial juga
menyebabkan ketimpangan gender karena ideologi ini lebih mengutamakan perempuan
dibandingkan laki-laki.
Sudarta
(2008) mengungkapkan bahwa ada dua nilai gender yang menonjol yang masih
berlaku di masyarakat, terutama di masyarakat pedesaan yaitu pendapat
masyarakat yang mengatakan “Untuk apa anak perempuan disekolahkan
(tinggi-tinggi), nanti dia ke dapur juga” dan “Untuk apa perempuan disekolahkan
(tinggi-tinggi), nanti dia akan menjadi milik orang lain juga”. Pada masyarakat
yang menganut system kekerabatan patrilinial, nilai gender tersebut tampak
lebih menonjol seperti masyarakat yang cenderung lebih mengutamakan anak
laki-laki daripada anak perempuan di dalam memberikan kesempatan untuk mengikuti
pendidikan formal. Tidak berbeda dengan patrilinial, dalam sistem matrilinial
perempuan merupakan ujung tombak untuk meneruskan garis keturunan keluarga dan
sebagian besar hak waris diberikan kepada perempuan.
Selain
budaya di dalam lingkungan masyarakat, anak juga akan dipengaruhi oleh teman
sebayanya (peer group). Menurut Horton dan Hunt (1999) peer group adalah
suatu kelompok dari orang-orang yang seusia dan memiliki status yang sama,
dengan siapa seseorang umumnya berhubungan atau bergaul. Di mulai dari masa
anak-anak hingga dewasa sebagian besar orang akan membangun pertemanan dengan
teman sebaya yang memiliki minat yang sama. Secara umum, Hartup dan Stevens
(1999) dalam Baron dan Byrne (2005) mengatakan bahwa memiliki teman
adalah suatu hal yang positif sebab teman dapat mendorong self-esteem dan
menolong dalam mengatasi stress, tetapi teman juga dapat memiliki efek negatif
jika mereka antisosial, menarik diri, tidak suportif, argumentatif, atau tidak
stabil. Peer group merupakan suatu wadah untuk bersosialisasi. Menurut
Havighurst dalam Ahmadi (2004) peer group memiliki tiga fungsi,
yaitu :
a) Mengajarkan
kebudayaan
b) Mengajarkan
mobilitas sosial atau perubahan status.
c) Memberi
peranan sosial yang baru.
F. PERBEDAAN GENDER DAN JENIS
KELAMIN
Istilah gender pada awalnya
dikembangkan sebagai suatu analisis ilmu sosial oleh Ann Oakley (1972, dalam
Fakih, 1997 ), dan sejak saat itu menurutnya gender lantas dianggap sebagai
alat analisis yang baik untuk memahami persoalan diskriminasi terhadap kaum
perempuan secara umum.
Gender berbeda dengan jenis kelamin
(seks). Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis dan
melekat pada jenis kelamin tertentu. Oleh karena itu, konsep jenis kelamin
digunakan untuk membedakan laki-laki dan perempuan berdasarkan unsure biologis
dan anatomi tubuh. Sedangkan gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menggambarkan perbedaan laki-laki dan perempuan secara sosial yang dibentuk
secara kultural. Gender adalah konsep yang membedakan fungsi dan peran antara
laki-laki dan perempuan. Pembedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan
perempuan itu tidak ditentukan karena keduanya terdapat perbedaan biologis atau
kodrat, melainkan dibedakan melalui kedudukan, fungsi, dan peran masing-masing
dalam berbagai macam kehidupan dan pembangunan. Diantara perbedaan seks dan
gender adalah sebagai berikut:
1. Perbedaan Gender dan Seks
GENDER
SEKS
Tidak bisa berubah
Tidak dapat dipertukarkan
Berlaku di mana saja
Kodrat (ciptaan Tuhan): perempuan
menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui
JENIS KELAMIN
Bisa berubah
Berlaku sepanjang masa
Tergantung budaya masing-masing
Bukan kodrat (buatan masyarakat).
Tergantung
musim
Dapat dipertukarkan
Dengan demikian gender sebagai suatu
konsep merupakan hasil pemikiran atau rekayasa manusia, dibentuk oleh
masyarakat sehingga gender bersifat dinamis dapat berbeda karena perbedaan adat
istiadat, budaya, agama, sistem nilai dari bangsa, masyarakat, dan suku bangsa
tertentu. Selain itu, gender dapat berubah karena perjalanan sejarah ,
perubahan politik, ekonomi dan sosial budaya. Dengan demikian, gender tidak
bersifat universal melainkan bersifat situasional masyarakatnya. Oleh karena
itu, tidak terjadi kerancuan dan pemutar balikan makna tentang apa yang disebut
jenis kelamin dan gender.
G.
KONSEKUENSI
DAN LAHIRNYA KETIDAKADILAN GENDER
1)
Gender
dan Marginalisasi Perempuan
Bentuk ketidakadilan gender yang
berupa proses marginalisasi perempuan adalah suatu proses pemiskinan atas satu
jenis kelamin tertentu (dalam hal ini perempuan) disebabkan oleh perbedaan
gender.
2)
Gender
dan Subordinasi
Pandangan gender ternyata tidak saja
berakibat terjadinya marginalisasi, akan tetapi juga mengakibatkan terjadinya
subordinasi terhadap perempuan. Adanya anggapan dalam masyarakat bahwa
perempuan itu emosional, irrasional dalam berpikir, perempuan tidak bisa
tampil sebagai pemimpin (sebagai pengambil keputusan), maka akibatnya perempuan
ditempatkan pada posisi yang tidak penting dan tidak strategis (second
person).
3)
Gender
dan Stereotipe
Stereotipe adalah pelabelan terhadap
pihak tertentu yang selalu berakibat merugikan pihak lain dan menimbulkan
ketidakadilan. Salah satu stereotipi yang dikenalkan dalam bahasan ini adalah
stereotipi yang bersumber pada pandangan gender. Karena itu banyak bentuk
ketidakadilan terhadap jenis kelamin yang kebanyakan adalah perempuan yang
bersumber pada stereotipi yang melekatnya.
4)
Gender
dan Kekerasan
Kekerasan (violence) adalah
suatu serangan (assault) baik terhadap fisik maupun integritas mental
psikologis seseorang. Kekerasan terhadap manusia bisa terja di karena berbagai
macam sumber, salah satunya adalah kekerasan yang bersumber pada anggapan
gender. Kekerasan semacam itu disebut “gender-related violence” yang
pada dasarnya terjadi karena adanya ketidaksetaraan kekuatan atau kekuasaan
dalam masyarakat.
5)
Gender
dan Beban Kerja
Adanya anggapan dalam masyarakat
bahwa kaum perempuan bersifat memelihara, rajin, dan tidak cocok menjadi kepala
keluarga, maka akibatnya semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab kaum
perempuan. Oleh karena itu beban kerja perempuan menjadi berat dan
alokasi waktu yang lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangga;
mulai dari mengepel lantai, memasak, dan merawat anak dan sebagainya.
H.
TEORI
YANG MELAHIRKAN FAHAM FEMINISME
1.Teori fungsionalisme
Teori/Aliran fungsionalisme
struktural atau sering disebut aliran fungsionalisme, adalah aliran arus utama
(mainstream) dalam ilmu social yang dikembangkan oleh Robert Merton dan Talcott
Parsons. Teori ini tidak secara langsung menyinggung persoalan perempuan.
Tetapi, menurut penganut aliran ini, masyarakat adalah suatu system yang
terdiri atas bagian, dan saling berkaitan (agama, pendidikan, struktur politik
sampai keluarga) dan masing-masing bagian selalu berusaha untuk mencapai
keseimbangan (equilibrium) dan keharmonisan, sehingga dapat menjelaskan
posisi kaum perempuan. Teori ini berkembang untuk menganalisis tentang
struktur sosial masyarakat yang terdiri dari berbagai elemen yang saling
terkait meskipun memiliki fungsi yang berbeda.
Perbedaan fungsi tersebut justru
diperlukan untuk saling melengkapi sehingga terwujud suatu system yang
seimbang. Konsep gender, menurut teori structural fungsional dibentuk
menurut pembagian peran dan fungsi masing-masing (laki-laki dan perempuan)
secara dikhotomi agar tercipta suatu keharmonisan Menurut penganut
teori ini, masyarakat berubah secara evolusioner, sehingga konflik dalam
masyarakat dilihat sebagai tidak berfungsinya integrasi social dan
keseimbangan. Teori ini memandang harmoni dan integrasi sebagai fungsional,
bernilai tinggi, dan harus ditegakkan, sedangkan konflik mesti dihindarkan.
Jadi, teori ini menentang setiap upaya yang akan menggoncang status quo,
termasuk yang terkait dengan hubungan antara laki-laki dan
perempuan dalam masyarakat yang selama ini.
Akibatnya feminisme tidak mendapat tempat pada kaum
perempuan, bahkan ditolak oleh masyarakat.
2.Menurut kaum feminis
Feminisme bukan merupakan
suatu pemikiran dan gerakan yang berdiri sendiri, akan tetapi meliputi berbagai
ideology, paradigma serta teori yang dipakainya. Meskipun gerakan feminisme
berasal dari analisis dan ideology yang berbeda tapi mempunyai kesamaan tujuan
yaitu kepedulian memperjuangkan nasib perempuan. Sebab gerakan ini berangkat
dari asumsi dan kesadaran bahwa perempuan ditindas, dieksploitasi dan berusaha
untuk menghari penindasan dan eksploitasi.
3.Aliran feminis liberal
Aliran ini dipengaruhi oleh teori
structural fungsionalisme, Muncul sebagai kritik terhadap teori politik
liberal yang pada umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan dan nilai
moral serta kebebasan individu, akan tetapi pada saat yang sama dianggap
mendiskriminasi kaum perempuan. Dalam mendefinisikan masalah kaum perempuan,
aliran ini tidak melihat struktur dan system sebagai pokok permasalahan.
Asumsi dasar feminisme liberal
adalah bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar
pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik.
Dalam memperjuangkan persoalan
masyarakat, menurut kerangka kerja feminis liberal, tertuju pada “kesempatan
yang sama dan hak yang sama” bagi setiap individu, termasuk di dalamnya kaum
perempuan. Feminisme liberal tidak pernah mempersoalkan terjadinya diskriminasi
sebagai akibat dari ideology patriarki.
4.Paradigma/teori Konflik
Lahir sebagai reaksi terhadap teori
struktural fungsional. Teori ini percaya bahwa setiap kelompok masyarakat
memiliki kepentingan (interest) dan kekuasaan (power) yang
merupakan sentral dari setiap hubungan social termasuk hubungan laki-laki dan
perempuan. Bagi penganut aliran konflik, gagasan dan nilai-nilai selalu dipergunakan
sebagai alat untuk menguasai dan melegitimasi kekuasaan, tidak terkecuali
hubungan antara laki-laki dan perempuan.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Persepsi gender mahasiswa ternyata tidak dipengaruhi
oleh lingkungan keluarga karena mahasiswa ketika mulai beranjak dewasa tidak
bersama orang tuanya khususnya ibu yang biasanya selalu mengasuh dan mendidik
mahasiswa sedari kecil. Waktu 15 tahun pengasuhan ibu dikalahkan oleh waktu 5
tahun ketika mahasiswa tidak lagi bersama ibu, karena bersekolah jauh dari
rumah. Pendidikan gender yang diterima mahasiswa dari ibunya tidak berpengaruh
banyak terhadap persepsi gender mahasiswa.
Begitu juga dengan budaya baik itu sistem
patrilinial maupun sistem matrilinial tidak berpengaruh pada persepsi gender
mahasiswa karena mahasiswa pada umumnya memiliki orang tua dari daerah yang
berbeda sehingga sistem parental dimana garis keturunan berasal dari ayah dan
ibu yang lebih dominan dalam lingkungan keluarga mahasiswa.
Secara umum persepsi gender mahasiswa lebih banyak
dipengaruhi oleh keberadaan mereka di lingkungan sekolah dan pergaulan mereka
dengan teman sebayanya (peer group) di lingkungan masyarakat, tetapi
terdapat perbedaan faktor yang mempengaruhi persepsi gender mahasiswa laki-laki
dan perempuan. Mahasiswa laki-laki lebih banyak dipengaruhi oleh guru yang ada
di lingkungan sekolah dan pergaulannya dengan teman di lingkungan masyarakat
dalam berpersepsi tentang perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan
Berbeda dengan mahasiswa perempuan yang lebihbanyak dipengaruhi oleh ibu mereka
dalam berpersepsi tentang kedudukan antara laki-laki dan perempuan.
Perbedaan faktor yang mempengaruhi mahasiswa
laki-laki dan perempuan disebabkan oleh adanya perbedaan waktu yang dihabiskan
mahasiswa laki-laki dan perempuan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan
masyarakat. Mahasiswa perempuan lebih banyak menghabiskan waktu mereka bersama
dengan ibu mereka di lingkungan keluarga sehingga mahasiswa perempuan lebih
banyak melakukan interaksi dengan ibu mereka dibandingkan laki-laki sehingga
pendidikan gender mahasiswa perempuan pun lebih banyak mereka terima dari ibu.
Sebaliknya dengan mahasiswa laki-laki, mereka lebih banyak menghabiskan
waktunya untuk berinteraksi dengan guru mereka di sekolah dengan mengikuti
berbagai kegiatan sekolah dan pergi dengan teman-teman mereka dibandingkan
bersama dengan ibu mereka sehingga pendidikan gender lebih banyak mahasiswa
laki-laki dapatkan dari teman mereka.
B. Saran
Dengan adanya perbedaan jenis
kelamin yang secara alami sudah ada dalam diri seseorang sebagai pemberian
Tuhan YME yang tidak dapat ditawar lagi. Kita sebagai mahkluk sosial yang demokratis
dan saling membutuhkan harus saling menghormati dan menghargai semua orang
tanpa memandang gender. Karena pada hakikatnya semua gender mempunyai hak dan
kewajiban yang sama sebagai manusia sehingga harus mempunyai kesempatan yang
sama pula dalam semua hal yang bersifat non-kodrati. Agar kemanpuan yang
dimiliki tersebut dapat diekspresikan dengan maksimal untuk memperbaiki atau
meningkatkan mutu dan taraf hidup individu itu sendiri, keluarga, dan
lingkungan sekitar.
DAFTAR PUSTAKA
- Subakti, A. Ramlan dkk. 2011 Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Prenada Media Group
- http://id.shvoong.com/society-and-news/gender/2220358-pengertian-gender-menurut-para-ahli/
- http://www.scribd.com/doc/15564947/Ketimpangan-Gender-2
- Anonim 2008, Voluntary Discrimination dalam Pendidikan Lanjutan dan Tinggi, http://web.g-help.or.id,
- Young, 1956, Persepsi, www.infoskripsi.com,
- Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2008. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. UMM Press. Malang.
- Hartaji, R. Damar Hadi. 2009. Motivasi Berprestasi Pada Mahasiswa Yang Berkuliah dengan Jurusan Pilihan Orang Tua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar