Minggu, 11 November 2012

PENGARUH LINGKUNGAN KELUARGA, SEKOLAH DAN MASYARAKAT TERHADAP PERSEPSI GENDER MAHASISWA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN



Description: Logo IAIN
PENGARUH LINGKUNGAN KELUARGA, SEKOLAH DAN MASYARAKAT TERHADAP PERSEPSI GENDER MAHASISWA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN

MAKALAH

Makalah ini dibuat untuk memenuhi Tugas Mandiri
Mata Kuliah : Kajian Gender dalam Pendidikan
Dosen Pengampu : Euis Puspitasari, SE, M.Pd





Disusun Oleh :
Jalil
1410140097


FAKULTAS  TARBIYAH
JURUSAN/SEMESTER :TADRIS.IPS-C/V

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
 SYEKH NURJATI CIREBON
TAHUN




KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, sumber pemilik ilmu pengetahuan yang dengan ilham dan kekuatan dari-Nya, saya telah menyelesaikan tugas makalah mandiri dengan judul Pengaruh Lingkungan Keluarga, Sekolah Dan Masyarakat Terhadap Persepsi Gender Mahasiswa Laki-Laki Dan Perempuan”.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.      Orang tua penulis yang selalu mendoakan serta mendukung penulis baik dalam bentuk moril maupun materi agar tugas makalah ini dapat cepat selesai.
2.      Ibu Euis Puspitasari, SE, M.Pd selaku dosen  bidang Kajian Gender dalam Pendidikan. Semoga semua bimbingan, dorongan, baik moril maupun materi yang telah diberikan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT Amin.
Saya menyadari banyak sekali kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Untuk itu, kritik dan saran diharapkan dari pembaca sekalian demi perbaikan makalah saya selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi kami  dan umumnya bagi pembaca sekalian.



               Cirebon,     Oktober 2012


         
 Penulis




DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR         …………………………………………………….      i
DAFTAR ISI        ……………………………………………………………….     ii
BAB I PEMBAHASAN                                                          
A.    Latar Belakang ………………………………………………….     1
B.     Rumusan Masalah ……………………………………………….     2
C.     Tujuan Pembuatan Makalah ….…………………………………     3
BAB II PEMBAHASAN
A.     Pendidikan....................................................................................      4
B.     Gender..........................................................................................      4
C.     Mahasiswa ....................................................................................      6
D.     Pengusaha ....................................................................................      6
E.      Lingkungan ..................................................................................      7
F.      Perbedaan Gender dan Jenis Kelamin...........................................    11
G.     Konsekunsi Lahirnya Ketidak Adilan Gender...............................    13
H.     Teori Melahirkan Faham Feminisme.............................................    14
BAB III PENUTUP                                                                                     
A.    Kesimpulan …………………………………………………………   17    
B.     Saran ………………………………………………………………...   18
DAFTAR PUSTAKA        ……………………………………………………...   19









BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Dahulu bila kembali melihat ke belakang pada sejarah Indonesia, pada umumnya yang lebih banyak bersekolah adalah laki-laki. Angka partisipasi sekolah untuk anak perempuan selalu lebih rendah daripada anak laki-laki dan jenis pendidikan yang didapatkan oleh anak laki-laki dan perempuan pun berbeda. R.A Kartini adalah seorang pejuang perempuan pertama yang berupaya menegakkan emansipasi perempuan, menginginkan pendidikan formal perempuan sama dengan laki-laki. Namun perjuangan R.A Kartini membutuhkan waktu yang cukup lama untuk terwujud karena hingga tahun 1990 perempuan yang bersekolah (mengenyam pendidikan formal) lebih rendah 75 juta orang daripada laki-laki dan dari jumlah yang buta huruf ternyata dua pertiga adalah perempuan. Rendahnya tingkat pendidikan ini membuat ketimpangan gender semakin tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat.
Akhirnya perjuangan yang dilakukan oleh R.A Kartini lama-kelamaan semakin menunjukkan hasilnya. Hal ini terbukti dari Laporan Pencapaian Millenium Development Goals (MDGs)[1]. Indonesia Tahun 2007, Angka Partisipasi Murni (APM) anak perempuan terhadap anak laki-laki pun cenderung meningkat. Jika pada periode sebelumnya (1992- 2002), rasio APM SMA/MA perempuan rata-rata hanya 98,76 persen pertahun maka pada periode 2002-2006 rasio APM meningkat menjadi rata-rata 99,07 persen pertahun. Pada jenjang perguruan tinggi juga mengalami kecenderungan yang sama, rasio APM perguruan tinggi perempuan meningkat dari rata-rata 85,73 persen (1992-2002) menjadi 97,24 persen (2003-2006). Peningkatan pendidikan ini diharapkan dapat menghapus adanya ketimpangan gender yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat.
Walaupun tingkat pendidikan masyarakat baik laki-laki maupun perempuan telah meningkat namun masih menimbulkan suatu pertanyaan besar bahwa hingga saat ini ketimpangan gender tetap tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat, contohnya yaitu pada pemilihan jurusan di sekolah lanjutan dan perguruan tinggi. Pemilihan jurusan pada tahun ajaran 2002/2003, siswa perempuan yang bersekolah di SMK program studi
Teknologi Industri hanya satu persen, studi Pertanian dan Kehutanan sekitar 12,9 persen, untuk bidang Bisnis dan Manajemen sebanyak 64,9 persen, dan bidang Pariwisata mencapai 94 persen (UNESCO/LIPI, 2005)2. Ketimpangan gender dapat pula diketahui di kalangan tenaga pengajar dan kepala sekolah. Sudarta (2008) mengungkapkan bahwa walaupun tidak ada data kuantitatif, secara kualitatif kenyataan menunjukkan bahwa untuk Sekolah Taman Kanak-kanak tenaga pengajar didominasi oleh perempuan.
Berbeda dengan SD sampai dengan jenjang pendidikan di Perguruan Tinggi, tenaga pengajar laki-laki lebih dominan daripada tenaga pengajar perempuan. Kecenderungan yang serupa juga terlihat di kalangan kepala sekolah dan pimpinan universitas. Hal inimenunjukkan bahwa dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi dimana terdapat orang-orang yang telah berpendidikan tinggi ketimpangan gender masih tetap ada
Perguruan tinggi merupakan tempat dimana terjadi pendidikan dan latihan akademis yang terkait dengan profesi tertentu (Semiawan, 1999). Perguruan tinggi bertugas membentuk mahasiswanya menjadi kaum intelegensia dan motor penggerak dalam penyebaran ilmu pengetahuan. Mahasiswa adalah seseorang yang sedang dalam proses menimba ilmu ataupun belajar dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada salah satu bentuk perguruan tinggi, yang terdiri dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas (Hartaji, 2009). Melalui mahasiswa diharapkan permasalahan ketimpangan gender yang ada dalam masyarakat dapat berkurang, namun pendidikan yang diterima mahasiswa tidak hanya berasal dari perguruan tinggi tetapi juga berasal dari keluarga yang merupakan tempat pertama pendidikan diterima oleh mahasiswa dan masyarakat yang merupakan tempat mahasiswa melakukan sosialisasi serta bergaul dengan teman-teman sebayanya.

B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah pengaruh lingkungan keluarga terhadap persepsi gender mahasiswa?
2.      Bagaimanakah pengaruh lingkungan sekolah terhadap persepsi gender mahasiswa?
3.      Bagaimanakah pengaruh lingkungan masyarakat terhadap persepsi gender mahasiswa?
4.      Apakah perbedaan faktor pengaruh yang terdapat di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat terhadap persepsi gender mahasiswa?



C.     Tujuan
Berdasarkan perumusan masalah, diperoleh tujuan penulisan sebagai berikut :
1.      Menganalisis pengaruh lingkungan keluarga terhadap persepsi gender mahasiswa.
2.      Menganalisis pengaruh lingkungan sekolah terhadap persepsi gender mahasiswa.
3.      Menganalisis pengaruh lingkungan masyarakat terhadap persepsi gender mahasiswa.
4.      Mengetahui perbedaan faktor pengaruh yang terdapat di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat terhadap persepsi gender mahasiswa..




BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENDIDIKAN
Menurut Brown (1961) dalam Ahmadi (2004) pendidikan adalah proses pengendalian secara sadar dimana perubahan-perubahan di dalam tingkah laku dihasilkan di dalam diri seseorang melalui kelompok. Sudarta (2008) mengemukakan bahwa pendidikan merupakan proses penerusan nilai oleh pendidik (guru atau dosen) kepada anak didik (siswa atau mahasiswa). Begitu juga dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa: “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi penerapannya di masa yang akan datang” (pasal 11 ayat 1). Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan suatu proses penerusan nilai secara sadar dari pendidik yang berupa bimbingan, pengajaran, dan atau latihan kepada anak didik yang akan diterapkan di masa yang akan datang sehingga akan terjadi perubahan-perubahan di dalam diri anak didik.
B.     GENDER
Gender menurut Handayani dan Sugiarti (2008) adalah suatu konsep sosial yang membedakan (dalam arti memilih atau memisahkan) peran antara laki-laki dan perempuan. Menurut Wiliam (2006) gender memuat perbedaan fungsi dan peran sosial laki-laki dan perempuan, yang terbentuk oleh lingkungan. Gender sama sekali berbeda dengan jenis kelamin. Gender bukan jenis kelamin.
Pengetahuan masyarakat tentang gender merupakan suatu hal yang penting untuk dibahas saat ini. Hal ini disebabkan oleh pengetahuan gender masyarakat akan mempengaruhi cara masyarakat memperlakukan orang lain baik itu laki-laki maupun perempuan. Tinggi atau rendahnya pengetahuan masyarakat tentang gender pada umumnya didapat dari hasil pendidikan yang telah dijalani. Pengetahuan masyarakat tentang gender dikatakan tinggi apabila masyarakat tidak lagi membedakan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Begitu juga sebaliknya pengetahuan masyarakat tentang gender dikatakan rendah apabila masyarakat masih membedakan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Persepsi masyarakat tentang gender sangat dipengaruhi oleh pengetahuan masyarakat tentang gender itu sendiri. Persepsi masyarakat tentang gender akan membuat masyarakat mengetahui, memahami, berpendapat dan berprilaku berbeda kepada seseorang, baik ia laki-laki maupun perempuan.
Menurut Baron dan Byrne (2005) persepsi merupakan proses yang digunakan untuk mencoba mengetahui dan memahami perasaan orang lain. Menurut Young (1956)[2] persepsi merupakan aktivitas mengindera, mengintegrasikan dan memberikan penilaian pada obyek-obyek fisik maupun obyek sosial, dan penginderaan tersebut tergantung pada stimulus fisik dan stimulus sosial yang ada di lingkungannya. David (1998) dalam Najah (2007) mengatakan bahwa dengan persepsi, individu dapat menyadari, mengerti tentang keadaan lingkungan di sekitarnya dan juga tentang keadaan diri individu yang bersangkutan. Persepsi juga merupakan pandangan, pengamatan, atau tanggapan seseorang terhadap benda, kejadian, tingkah laku manusia atau hal-hal yang diterimanya sehari-hari.
Persepsi gender adalah proses yang digunakan untuk mencoba mengetahui, memahami dan memberikan penilaian tentang peran antara laki-laki dan perempuan dalam lingkungannya. Mengetahui, memahami dan memberikan penilaian di sini maksudnya adalah suatu proses aktivitas seseorang dalam memberikan kesan, penilaian, pendapat, merasakan dan menginterpretasikan sesuatu berdasarkan informasi yang ditampilkan dari sumber lain (yang dipersepsi) mengenai peran laki-laki dan perempuan dalam lingkungannya.
Persepsi gender di dalam lingkungan keluarga dipengaruhi oleh pendidikan orang tua dan proses pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua dalam memberikan pendidikan kepada anaknya terutama ibu. Di dalam bukunya “ The Twelve Who Survive” Myers (1990) dalam Hastuti (2008) menyebutkan bahwa anak dapat tumbuh dan berkembang optimal melalui stimulasi psikososial yang diberikan ibu kepada anak, dan hal ini tergantung pula pada latar belakang pendidikan ibu, beban kerja ibu serta persepsi ibu terhadap peran domestiknya.
Pemberian pendidikan ibu terhadap anaknya terutama pendidikan gender dalam pengasuhan dapat terlihat dari jenis proses pengasuhan yang diberikan oleh ibu. Proses pengasuhan akan melibatkan hubungan dan interaksi yang terjadi antara orang tua dengan anak, keduanya akan terlibat dan berkontribusi dalam membentuk kualitas hubungan dan perkembangan dari hubungan tersebut. Hal ini berarti setiap orang tua akan membawa sejarah bagaimana mereka dahulunya berinteraksi dengan orang tua mereka dahulu dalam membentuk hubungan dengan anak (Rohner (1987) dalam Hastuti (2008)) dan pendidikan yang telah mereka jalani. Selain itu apabila ibu lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja maka proses pengasuhan dan pemberian pendidikan kepada anak tidak dapat dilakukan oleh ibu.
C.     MAHASISWA
Susantoro (2003) dalam Rahmawati (2006) mengatakan bahwa mahasiswa adalah kalangan muda yang berumur 19-28 tahun yang memang dalam usia tersebut mengalami suatu peralihan dari tahap remaja ke tahap dewasa. Hartaji (2009) mengungkapkan mahasiswa adalah seseorang yang sedang dalam proses menimba ilmu ataupun belajar dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada salah satu bentuk perguruan tinggi, yang terdiri dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas. Susanto (2003) dalam Rahmawati (2006) menyatakan bahwa sosok mahasiswa juga kental dengan nuansa kedinamisan dan sikap keilmuannya dalam melihat sesuatu secara objektif, sistematis, dan rasional.
D.    PENGASUHAN
Pengasuhan atau disebut juga “parenting” adalah cara mengasuh anak mencakup pengalaman, keahlian, kualitas, dan tanggung jawab yang dilakukan orang tua dalam mendidik dan merawat anak, sehingga anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang diharapkan oleh keluarga dan masyarakat di mana ia berada dan tinggal (Hastuti, 2008).
Pengasuhan dilakukan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik anak seperti sandang, pangan, dan papan, tetapi pengasuhan juga mencakup pemenuhan kebutuhan psikis anak dan pemberian stimulasi untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan anak secara maksimal.
Brooks (2001) dalam Wulandari (2009) mengemukakan bahwa pengasuhan merupakan suatu proses panjang yang mencakup :

1.      Interaksi antara anak, orang tua, dan masyarakat lingkungannya.
2.      Penyesuaian kebutuhan hidup dan temperamen anak dengan orang tuanya.
3.      Pemenuhan tanggung jawab untuk membesarkan anak dan memenuhi kebutuhan anak.
4.      Proses mendukung atau menolak keberadaan anak dan orang tua.
5.      Proses mengurangi resiko dan perlindungan terhadap individu dan lingkungan sosialnya.
Kelima proses tersebut sangat menentukan seberapa besar peran orang tua terutama ibu dan pentingnya kebersamaan ibu dalam pengasuhan untuk memberikan pendidikan kepada anaknya agar dapat beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Kebersamaan ibu dalam memberikan pengasuhan kepada anaknya akan berdampak pada terbentuknya ikatan (bonding) yang kuat antara ibu dan anaknya dan pemberian pendidikan pun dapat diberikan secara optimal, sebaliknya apabila pengasuhan tidak dilakukan bersama dengan ibu akan berdampak pada lemahnya ikatan antara ibu dan anaknya serta pemberian pendidikan yang terjadi pada saat proses pengasuhan berlangsung tidak dapat diberikan oleh ibu secara optimal.
E.     LINGKUNGAN
1.      Lingkungan Keluarga
Keluarga adalah unit kesatuan sosial terkecil yang mempunyai peranan sangat penting dalam membina anggota-anggota keluarganya (Rahayu, 2009). Secara prinsip keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas dua orang atau lebih berdasarkan pada ikatan perkawinan dan pertalian darah, hidup dalam satu rumah tangga di bawah asuhan seorang kepala rumah tangga, berinteraksi di antara anggota keluarga, setiap anggota keluarga memiliki peranannya masing-masing dalam menciptakan dan mempertahankan budaya keluarga.
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang dikenal bagi seseorang begitu ia dilahirkan di dunia. William Bennet dalam Hastuti (2008) mengungkapkan bahwa keluarga adalah tempat yang paling efektif dimana seorang anak menerima kebutuhan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan bagi hidupnya, serta kondisi kondisi biologis, psikologis, dan pendidikan serta kesejahteraan seorang anak amat tergantung pada keluarga. Jadi untuk menciptakan kesejahteraan bagi anak maka kesejahteraan keluarga merupakan hal utama yang harus dibangun. Apabila anak telah sejahtera, maka akan terbentuk anak yang berkualitas, berkompeten, dan dapat mandiri.
2.      Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah adalah suatu kawasan tempat anak-anak diajarkan untuk mendapatkan, mengembangkan, dan menggunakan sumber-sumber dari keadaan sekitarnya. Sekolah yang merupakan tempat dimana pendidikan diterapkan dan diajarkan untuk memandang sesuatu secara objektif sesuai fakta-fakta yang ada, ternyata terdapat ketimpangan gender. Ada beberapa faktor di lingkungan sekolah yang menyebabkan ketimpangan gender di bidang pendidikan. Menurut Bemmelen (2003b) dalam Sudarta (2008) faktor-faktor ketimpangan gender dalam pendidikan adalah angka buta huruf, Angka Partisipasi Sekolah (APS), pilihan bidang studi, komposisi staf perngajar dan kepala sekolah. Menurut Sudarta (2008) sendiri faktor penentu ketimpangan gender adalah masalah lama (sejarah), nilai gender yang dianut oleh masyarakat, nilai dan peran gender dalam buku ajar, nilai gender yang ditanamkan guru, dan kebijakan yang timpang gender, sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ketimpangan gender adalah :
a.       Pilihan Bidang Studi
Ketimpangan gender terlihat juga dalam pilihan bidang studi. Hal ini dapat dibuktikan pada sekolah kejuruan, seperti misalnya Sekolah Kepandaian Puteri (SKP), yakni suatu sekolah khusus untuk anak perempuan, Sekolah Teknik Menengah (STM) umumnya untuk anak laki-laki dan sebagainya. Penjurusan di tingkat SLTA, umumnya anak perempuan lebih banyak mengisi jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), sedangkan anak laki-laki lebih banyak mengisi jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Berkaitan dengan pilihan fakultas dan jurusan di Perguruan Tinggi yang dinyatakan oleh Sudarta (2008) bahwa proporsi laki-laki dan perempuan di fakultas dan jurusan di Universitas Indonesia (pada tahun 1992/1993) menunjukkan ketimpangan gender yang signifikan. Di samping itu, Agung Ariani (2002) dalam Sudarta (2008) juga menyatakan bahwa umumnya perempuan memilih sekolah yang penyelesaian pendidikannya memerlukan waktu pendek dan cepat bisa bekerja, sebagai alasannya adalah untuk menunjang ekonomi rumah tangga dan untuk biaya melanjutkan studi saudara laki-lakinya.

b.      Nilai dan Peran Gender yang Terdapat dalam Buku Ajar
Evaluasi terhadap bahan ajar pada tingkat sekolah dasar misalnya, contoh-contoh seperti ibu pergi ke pasar dan ayah pergi ke kantor sudah harus direvisi. Demikian juga dengan Anti main masak-masakan dan Budi main layangan. Sudarta (2008) juga mengungkapkan contoh mengenai sosialisasi gender di antaranya “Ibu memasak di dapur, Bapak membaca koran”. “Ibu berbelanja ke pasar, Bapak mencangkul di sawah”. Bentuk seksisme lain adalah gambar-gambar yang lebih sering menampilkan anak laki-laki dalam kegiatan yang lebih bervariasi dibandingkan dengan anak perempuan. Selain itu perempuan bisa tidak tampak dalam pelajaran bahasa. Eliyani (2009) mengemukakan contoh lain ketimpangan gender dalam buku ajar yaitu bentuk nominal bermakna profesi seperti peneliti, pilot, pengusaha dan presiden dianggap mengandung makna laki-laki, karena apabila penyandang profesi tersebut adalah perempuan, kata-kata itu biasanya dimaknai dengan kata perempuan agar sosok perempuan termunculkan dalam kata-kata tersebut.
c.       Nilai Gender yang Ditanamkan Oleh Guru
Guru merupakan “role model” yang sangat penting di luar lingkungan keluarga anak. Disadari atau tidak, setiap orang termasuk guru mempunyai persepsi tentang peran gender yang pantas. Persepsi itu akan disampaikan secara langsung atau tidak langsung kepada murid (Bemmelen (2003b) dalam Sudarta (2008)). Guru taman kanak-kanak dan sekolah dasar lebih memberikan penguatan positif pada anak perempuan disbanding dengan anak laki-laki dalam memberi instruksi dan aktivitas bermain. Memasuki sekolah menengah pertama dan menengah atas, baik oleh guru di sekolah dan orang tua di rumah, menasehati agar remaja laki-laki tidak cengeng dan remaja perempuan harus bisa memasak. Selain itu hasil penelitian, dalam dunia sains yang dipaparkan oleh Eliyani (2009) umumnya juga menunjukkan bahwa tenaga pengajar memiliki persepsi yang sama dengan masyarakat luas, yaitu sains dan teknologi adalah dunia laki-laki. Sikap ini membuat mereka merasa wajar bila dalam kelas terdapat hanya sedikit anak perempuan.
Lebih jauh tenaga pengajar juga cenderung lebih memberikan perhatian pada pelajar laki-laki daripada pelajar perempuan terutama pada bidang-bidang yang “dominan laki-laki” (Voyless et al (2007) dalam Eliyani (2009)), seperti lebih banyak memanggil anak lakilaki, memberikan penghargaan dan kritik lebih banyak pada anak laki-laki atau di laboratorium memberikan ekspektasi lebih pada anak laki-laki daripada anak perempuan.
3.      Lingkungan Masyarakat
Masyarakat adalah sekelompok manusia yang secara relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, mendiami suatu tertentu, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut (Horton dan Hunt, 1999). Jadi lingkungan masyarakat adalah suatu kawasan tempat sekelompok manusia yang secara relatif mandiri, hidup bersama-sama, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut.
Salah satu penyebab ketimpangan gender di dalam lingkungan masyarakat adalah budaya. Banyak yang menganggap bahwa kondisi demikian normal saja. Seumur hidup, telah melihat suatu fakta bahwa perempuan bekerja di sektor domestik dan laki-laki mencari nafkah. Anak perempuan main boneka dan anak laki-laki main mobil-mobilan.
Budaya yang demikian bukan hanya diterima baik oleh laki-laki tetapi juga perempuan. Di Indonesia pada dasarnya terdapat suatu budaya kekeluargaan atau kekerabatan yang mengatur kehidupan masyarakatnya, terdiri dari tiga sistem kekerabatan yaitu :
1)      Sistem kekerabatan patrilinial yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki (ayah), sistem ini dianut di Tapanuli, Lampung, Bali dan lain-lain.
2)      Sistem kekerabatan matrilinial yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis perempuan (ibu), sistem ini banyak dianut oleh masyarakat Sumatra Barat.
3)      Sistem kekerabatan parental yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki (ayah) dan perempuan (ibu), sistem ini banyak dianut oleh masyarakat Jawa, Madura, Sumatra Selatan dan lain-lainnya.
Menurut Purba (2005) ketimpangan gender selalu dihubungkan dengan perspektif ideologi patrilinial dan sosialisasi nilai dalam kehidupan rumah tangga. Akibatnya ideologi patrilinial tersebut tetap dapat mempertahankan ketimpangan gender dalam kehidupan masyarakat. Selain patrilinial, ideolagi matrilinial juga menyebabkan ketimpangan gender karena ideologi ini lebih mengutamakan perempuan dibandingkan laki-laki.
Sudarta (2008) mengungkapkan bahwa ada dua nilai gender yang menonjol yang masih berlaku di masyarakat, terutama di masyarakat pedesaan yaitu pendapat masyarakat yang mengatakan “Untuk apa anak perempuan disekolahkan (tinggi-tinggi), nanti dia ke dapur juga” dan “Untuk apa perempuan disekolahkan (tinggi-tinggi), nanti dia akan menjadi milik orang lain juga”. Pada masyarakat yang menganut system kekerabatan patrilinial, nilai gender tersebut tampak lebih menonjol seperti masyarakat yang cenderung lebih mengutamakan anak laki-laki daripada anak perempuan di dalam memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal. Tidak berbeda dengan patrilinial, dalam sistem matrilinial perempuan merupakan ujung tombak untuk meneruskan garis keturunan keluarga dan sebagian besar hak waris diberikan kepada perempuan.
Selain budaya di dalam lingkungan masyarakat, anak juga akan dipengaruhi oleh teman sebayanya (peer group). Menurut Horton dan Hunt (1999) peer group adalah suatu kelompok dari orang-orang yang seusia dan memiliki status yang sama, dengan siapa seseorang umumnya berhubungan atau bergaul. Di mulai dari masa anak-anak hingga dewasa sebagian besar orang akan membangun pertemanan dengan teman sebaya yang memiliki minat yang sama. Secara umum, Hartup dan Stevens (1999) dalam Baron dan Byrne (2005) mengatakan bahwa memiliki teman adalah suatu hal yang positif sebab teman dapat mendorong self-esteem dan menolong dalam mengatasi stress, tetapi teman juga dapat memiliki efek negatif jika mereka antisosial, menarik diri, tidak suportif, argumentatif, atau tidak stabil. Peer group merupakan suatu wadah untuk bersosialisasi. Menurut Havighurst dalam Ahmadi (2004) peer group memiliki tiga fungsi, yaitu :
a)      Mengajarkan kebudayaan
b)      Mengajarkan mobilitas sosial atau perubahan status.
c)      Memberi peranan sosial yang baru.
F.      PERBEDAAN GENDER DAN JENIS KELAMIN
Istilah gender pada awalnya dikembangkan sebagai suatu analisis ilmu sosial oleh Ann Oakley (1972, dalam Fakih, 1997 ), dan sejak saat itu menurutnya gender lantas dianggap sebagai alat analisis yang baik untuk memahami persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan secara umum.
Gender berbeda dengan jenis kelamin (seks). Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis dan melekat pada jenis kelamin tertentu. Oleh karena itu, konsep jenis kelamin digunakan untuk membedakan laki-laki dan perempuan berdasarkan unsure biologis dan anatomi tubuh. Sedangkan gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbedaan laki-laki dan perempuan secara sosial yang dibentuk secara kultural. Gender adalah konsep yang membedakan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan. Pembedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, melainkan dibedakan melalui kedudukan, fungsi, dan peran masing-masing dalam berbagai macam kehidupan dan pembangunan. Diantara perbedaan seks dan gender adalah sebagai berikut:
1.      Perbedaan Gender dan Seks
GENDER SEKS                                                                    
Tidak bisa berubah
Tidak dapat dipertukarkan
Berlaku di mana saja
Kodrat (ciptaan Tuhan): perempuan menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui
JENIS KELAMIN
Bisa berubah
Berlaku sepanjang masa
Tergantung budaya masing-masing
Bukan kodrat (buatan masyarakat).
Tergantung musim                                  
Dapat dipertukarkan                                              
Dengan demikian gender sebagai suatu konsep merupakan hasil pemikiran atau rekayasa manusia, dibentuk oleh masyarakat sehingga gender bersifat dinamis dapat berbeda karena perbedaan adat istiadat, budaya, agama, sistem nilai dari bangsa, masyarakat, dan suku bangsa tertentu. Selain itu, gender dapat berubah karena perjalanan sejarah , perubahan politik, ekonomi dan sosial budaya. Dengan demikian, gender tidak bersifat universal melainkan bersifat situasional masyarakatnya. Oleh karena itu, tidak terjadi kerancuan dan pemutar balikan makna tentang apa yang disebut jenis kelamin dan gender.
G.    KONSEKUENSI DAN LAHIRNYA KETIDAKADILAN GENDER
1)      Gender dan Marginalisasi Perempuan 
Bentuk ketidakadilan gender yang berupa proses marginalisasi perempuan adalah suatu proses pemiskinan atas satu jenis kelamin tertentu (dalam hal ini perempuan) disebabkan oleh perbedaan gender.
2)      Gender dan Subordinasi
Pandangan gender ternyata tidak saja berakibat terjadinya marginalisasi, akan tetapi juga mengakibatkan terjadinya subordinasi terhadap perempuan. Adanya anggapan dalam masyarakat bahwa perempuan itu emosional, irrasional dalam  berpikir, perempuan tidak bisa tampil sebagai pemimpin (sebagai pengambil keputusan), maka akibatnya perempuan ditempatkan pada posisi yang tidak penting dan tidak strategis (second person).
3)      Gender dan Stereotipe
Stereotipe adalah pelabelan terhadap pihak tertentu yang selalu berakibat merugikan pihak lain dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu stereotipi yang dikenalkan dalam bahasan ini adalah stereotipi yang bersumber pada pandangan gender. Karena itu banyak bentuk ketidakadilan terhadap jenis kelamin yang kebanyakan adalah perempuan yang bersumber pada stereotipi yang melekatnya. 
4)      Gender dan Kekerasan
Kekerasan (violence) adalah suatu serangan (assault) baik terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap manusia bisa terja di karena berbagai macam sumber, salah satunya adalah kekerasan yang bersumber pada anggapan gender. Kekerasan semacam itu disebut “gender-related violence” yang pada dasarnya terjadi karena adanya ketidaksetaraan kekuatan atau kekuasaan dalam masyarakat.
5)      Gender dan Beban Kerja
Adanya anggapan dalam masyarakat bahwa kaum perempuan bersifat memelihara, rajin, dan tidak cocok menjadi kepala keluarga, maka akibatnya semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab kaum perempuan.  Oleh karena itu beban kerja perempuan menjadi berat dan alokasi waktu yang lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangga; mulai dari mengepel lantai, memasak, dan merawat anak dan sebagainya.
H.    TEORI YANG MELAHIRKAN FAHAM FEMINISME
1.Teori fungsionalisme 
Teori/Aliran fungsionalisme struktural atau sering disebut aliran fungsionalisme, adalah aliran arus utama (mainstream) dalam ilmu social yang dikembangkan oleh Robert Merton dan Talcott Parsons. Teori ini tidak secara langsung menyinggung persoalan perempuan.  Tetapi, menurut penganut aliran ini,  masyarakat adalah suatu system yang terdiri atas bagian, dan saling berkaitan (agama, pendidikan, struktur politik sampai keluarga) dan masing-masing bagian selalu berusaha untuk mencapai keseimbangan (equilibrium) dan keharmonisan, sehingga dapat menjelaskan posisi kaum perempuan. Teori ini berkembang untuk menganalisis tentang struktur sosial masyarakat yang terdiri dari berbagai elemen yang saling terkait meskipun memiliki fungsi yang berbeda.
Perbedaan fungsi tersebut justru diperlukan untuk saling melengkapi sehingga terwujud suatu system yang seimbang.  Konsep gender, menurut teori structural fungsional dibentuk menurut pembagian peran dan fungsi masing-masing (laki-laki dan perempuan) secara dikhotomi agar tercipta suatu keharmonisan   Menurut penganut teori ini, masyarakat berubah secara evolusioner, sehingga  konflik dalam masyarakat dilihat sebagai tidak berfungsinya integrasi social dan keseimbangan. Teori ini memandang harmoni dan integrasi sebagai fungsional, bernilai tinggi, dan harus ditegakkan, sedangkan konflik mesti dihindarkan. Jadi, teori ini menentang setiap upaya yang akan menggoncang status quo, termasuk yang   terkait dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat yang selama ini.  
Akibatnya feminisme tidak mendapat tempat pada kaum perempuan, bahkan ditolak oleh masyarakat.
2.Menurut kaum feminis
Feminisme  bukan merupakan suatu pemikiran dan gerakan yang berdiri sendiri, akan tetapi meliputi berbagai ideology, paradigma serta teori yang dipakainya. Meskipun gerakan feminisme berasal dari analisis dan ideology yang berbeda tapi mempunyai kesamaan tujuan yaitu kepedulian memperjuangkan nasib perempuan. Sebab gerakan ini berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa perempuan ditindas, dieksploitasi dan berusaha untuk menghari penindasan dan eksploitasi.
3.Aliran feminis liberal
Aliran ini dipengaruhi oleh teori structural fungsionalisme,  Muncul sebagai kritik terhadap teori politik liberal yang pada umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan dan nilai moral serta kebebasan individu, akan tetapi pada saat yang sama dianggap mendiskriminasi kaum perempuan. Dalam mendefinisikan masalah kaum perempuan, aliran ini tidak melihat struktur dan system sebagai pokok permasalahan. 
Asumsi dasar feminisme liberal adalah bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik.
Dalam memperjuangkan persoalan masyarakat, menurut kerangka kerja feminis liberal, tertuju pada “kesempatan yang sama dan hak yang sama” bagi setiap individu, termasuk di dalamnya kaum perempuan. Feminisme liberal tidak pernah mempersoalkan terjadinya diskriminasi sebagai akibat dari ideology patriarki.
4.Paradigma/teori Konflik 
Lahir sebagai reaksi terhadap teori struktural fungsional.  Teori ini percaya bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan (interest) dan kekuasaan (power) yang merupakan sentral dari setiap hubungan social termasuk hubungan laki-laki dan perempuan. Bagi penganut aliran konflik, gagasan dan nilai-nilai selalu dipergunakan sebagai alat untuk menguasai dan melegitimasi kekuasaan, tidak terkecuali hubungan antara laki-laki dan perempuan.
  


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Persepsi gender mahasiswa ternyata tidak dipengaruhi oleh lingkungan keluarga karena mahasiswa ketika mulai beranjak dewasa tidak bersama orang tuanya khususnya ibu yang biasanya selalu mengasuh dan mendidik mahasiswa sedari kecil. Waktu 15 tahun pengasuhan ibu dikalahkan oleh waktu 5 tahun ketika mahasiswa tidak lagi bersama ibu, karena bersekolah jauh dari rumah. Pendidikan gender yang diterima mahasiswa dari ibunya tidak berpengaruh banyak terhadap persepsi gender mahasiswa.
Begitu juga dengan budaya baik itu sistem patrilinial maupun sistem matrilinial tidak berpengaruh pada persepsi gender mahasiswa karena mahasiswa pada umumnya memiliki orang tua dari daerah yang berbeda sehingga sistem parental dimana garis keturunan berasal dari ayah dan ibu yang lebih dominan dalam lingkungan keluarga mahasiswa.
Secara umum persepsi gender mahasiswa lebih banyak dipengaruhi oleh keberadaan mereka di lingkungan sekolah dan pergaulan mereka dengan teman sebayanya (peer group) di lingkungan masyarakat, tetapi terdapat perbedaan faktor yang mempengaruhi persepsi gender mahasiswa laki-laki dan perempuan. Mahasiswa laki-laki lebih banyak dipengaruhi oleh guru yang ada di lingkungan sekolah dan pergaulannya dengan teman di lingkungan masyarakat dalam berpersepsi tentang perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan Berbeda dengan mahasiswa perempuan yang lebihbanyak dipengaruhi oleh ibu mereka dalam berpersepsi tentang kedudukan antara laki-laki dan perempuan.
Perbedaan faktor yang mempengaruhi mahasiswa laki-laki dan perempuan disebabkan oleh adanya perbedaan waktu yang dihabiskan mahasiswa laki-laki dan perempuan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Mahasiswa perempuan lebih banyak menghabiskan waktu mereka bersama dengan ibu mereka di lingkungan keluarga sehingga mahasiswa perempuan lebih banyak melakukan interaksi dengan ibu mereka dibandingkan laki-laki sehingga pendidikan gender mahasiswa perempuan pun lebih banyak mereka terima dari ibu. Sebaliknya dengan mahasiswa laki-laki, mereka lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berinteraksi dengan guru mereka di sekolah dengan mengikuti berbagai kegiatan sekolah dan pergi dengan teman-teman mereka dibandingkan bersama dengan ibu mereka sehingga pendidikan gender lebih banyak mahasiswa laki-laki dapatkan dari teman mereka.

B.     Saran
Dengan adanya perbedaan jenis kelamin yang secara alami sudah ada dalam diri seseorang sebagai pemberian Tuhan YME yang tidak dapat ditawar lagi. Kita sebagai mahkluk sosial yang demokratis dan saling membutuhkan harus saling menghormati dan menghargai semua orang tanpa memandang gender. Karena pada hakikatnya semua gender mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai manusia sehingga harus mempunyai kesempatan yang sama pula dalam semua hal yang bersifat non-kodrati. Agar kemanpuan yang dimiliki tersebut dapat diekspresikan dengan maksimal untuk memperbaiki atau meningkatkan mutu dan taraf hidup individu itu sendiri, keluarga, dan lingkungan sekitar.




DAFTAR PUSTAKA



[1] Anonim 2008, Voluntary Discrimination dalam Pendidikan Lanjutan dan Tinggi, http://web.g-help.or.id,
[2] Young, 1956, Persepsi, www.infoskripsi.com,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar