Minggu, 07 Oktober 2012

METODE PENGAJARAAN

Makalah ini dibuat untuk memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Mashodir Tarbawiyah
Dosen Pengampu : Jaja Suteja, M.Pdi



Disusun Oleh
Jalil
FAKULTAS  TARBIYAH  JURUSAN/SEMESTER :TADRIS.IPS-C/V
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON
TAHUN
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah bimbingan yang dilakukan oleh seorang dewasa kepada terdidik dalam masa pertumbuhan agar ia memiliki kepribadian yang Islami. Dari satu segi kita melihat bahwa pendidikan itu lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain. Disamping itu pendidikan bertujuan agar terwujudnya manusia sebagai hamba Allah.
Menurut Islam pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia menjadikan manusia yang menghambakan diri kepada Allah. Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Akan tetapi pendidikan Islam disini mencakup pengajaran umum dan pengajaran agama, yang didasari dengan langkah-langkah mengajar yang disebut dengan metode pengajaran. Dalam pendidikan Islam, pengajaran agama Islam mencakup pembinaan keterampilan, kognitif, dan afektif yang menyangkut pembinaan rasa Iman, rasa beragama pada umumnya. Adapun metode pendidikan Islam yaitu cara yang paling tepat dilakukan oleh pendidikan untuk menyampaikan bahan atau materi pendidikan Islam kepada anak didik.
Metode disini mengemukakan bagaimana mengolah, menyusun dan menyajikan materi pendidikan Islam, agar materi pendidikan Islam tersebut dapat dengan mudah diterima dan dimiliki oleh anak didik. Dalam pendidikan Islam metode pendidikan ini disebut dengan istilah “Thariqatut Tarbiyah” atau “Thariqatur Tahzib”.
Dalam Al-Qur’an dan Hadits dapat ditemukan berbagai metode pendidikan yang sangat menyentuh perasaan,mendidik jiwa, dan membangkitkan semangat, juga mampu menggugah puluhan ribu Muslimin untuk membuka hati umat manusia menerima tuntunan Allah. Dalam hal ini, salah satunya metode dakwah yang merupakan metode pendidikan yang berfungsi untuk mengajak dan membawa uamtnya ke jalan Allah dan untuk mendapat keridhoan-Nya. Untuk itu, pemakalah akan menguak lebih jelas mengenai metode pendidikan atau yang dikenal dengan metode pengajaran secara global dalam bab pembahasan yang selanjutnya.

BAB II
PEMBAHASAAN
A.    Q.S. al-Maidah (5) ayat 67
                    ••  •      
67.  Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia . Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
Tak kurang dari sepuluh versi riwayat yang menerengkan sebab-sebab turunnya ayat ini. Salah satu diantaranya adalah ketika Nabi SAW tengah beristirahat dan tidur dibawah sebatang pohon kurma, datanglah seorang Arab kampong (Badwi) menghampiri beliau. Diambilnya pedang Nabi yang beliau simpan disampingnya. Lalu dibangkanlah Nabi SAW dan berkata dengan nada yang mengancam : “Hai Muhammad, siapa yang akan menghalangi pedang ini (kalau aku tebaskan kelehermu)?” dengan tenang Nabi SAW menjawab : “Allah”! seketika tangan sibadwi yang “songong” itu bergetar lemas dan pedangnya pun terjatuh. Satelah peristiwa ini tak lama turunlah ayat ini. Hadist ini diriwayatkan oleh al-Tahabari.
Dari sepuluh ayat yang melatarbelakangi turunnya ayat ini, essensinya sama, bahwa Nabi SAW selalu mendapatkan pertolongan Allah disaat-saat beliu membutuhkannya. Beliau selalu diselamatkan dari berbagai bentuk maker dan upaya-upaya pembunuhaan orang-orang kafir, yahudi dan nasrani yang direncanakan. Allah selalu mem-back-up beliu dan memerintah agar beliau tetap menjalankan misinya sebagai Nabi dan Rosull, menyampaikan risalah kepada umat manusia.
Allah SWT menyuruh Nabi agar tidak gentar kepada siapa pun dalam menyampaikan risalahnya, juga tidak merasa berkecil hati dengan minimnya masyarakat pendukung dan banyaknya penentang. Perintah balligh dalam ayat itu bersabar dan tabahlah engkau dalam menyampaikan risalah itu. Jadi, tabligh seperti yang dipahami saat ini, tetapi tabligh dalam arti menyampaikan berikutnya melaksanakan isi risalah dengan penuh kesabaran dan ketabahaan.
“Allah menjagamu dari gangguan manusia”. Maksunya, bahwa Allah menjaga Nabi SAW dari urusan-urusan pembunuhan dari orang-orang kafir Quraisy Mekah. Dan ini terbukti, walaupun mereka berusaha payah menyusun srategi untuk “menghabisi” Nabi SAW, namun usaha mereka tetap saja gagal. Bahwa nabi pernah diteror dan diancam, bahkan pernah dilempari penduduk Thaif sampai terluka, semua itu sunnatullah dari konsekunsi sebuah perjuangan menegakan yang benar dan memberantas yang batil.
Hikmah Tarbawiyyah yang dapat diambil dari ayat diatas  buah metode tabligh adalah metode yang dapat diperkenalkan dalam dunia pendidikan modern. Yaitu, suatu metode pendidikan yang tidak sekedar guru menyampaikan pengajaraan kepada muridnya, tetapi dalam metode tersebut terkandung beberapa persyarataan guna terciptanya efektivitas belajar mengajar yaitu:
1)    Aspek kepribadian guru yang selalu menampilkan sosok keteladaan yang baik (uswatun hasanah) bagi murid-muridnya.
2)    Aspek kemampuan intelektual yang memadai.
3)    Aspek penguasaan metodologi yang memadai.
4)    Aspek keikhlasan.
5)    Aspeek spiritulitas dalam arti pengalamaan pengajaraan agama yang istiqomah.
B.    Q.S. al-Nahl (16) ayat 125

             •     •       
125.  Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah  dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
1.    Analisis Kebahasaan
Ud’u berasal dari da’a-yad’u-da’watan artinya mengajak, memanggil atau mengundang. Dari kata Ud’u ini muncul dalam islam konsep dakwa, yaitu menyeru orang lain terhadap islam atau agar orang lain berbuat kebijakan. Dalam Al-Qur’an, orang lain agar melakukan kebijakan, yaitu amar (perintah) dan da’wah (mengajak). Kata amara dengan berbagai derivasinya selalu didendangkan dengan al-ma’ruf, sedangkan kata da’a dengan berbagai deverensial juga, kecuali pada ayat ini, selalu didendangkan dengan kata al-khaer.
Dalam susunan ayatnya perintah ud’u tidak disebutkan objeknya, siapa yang diberikan ajaran itu? Sebagaimana yang telah dikemukaan dalam bahasa arab ada satu ketentuan jika suatu kata tidak diketahui objeknya, maka kata tersebut mengandung objek yang luas. Dari sisi dapat dipahami bahwa yang menjadi objek dakwa adalah seluruh manusia. Tampaknya penafsiran ini diperkuat dengan selalu digadangkannya kata da’a tersebut dengan kalimat al--khaer.
Ila sabili rabbik kepada jalan tuhanmu. Pada klausa ini terdapat haruf jar ila yang menunjukan makna intiha dan sering diterjemakan sampai kepada atau kepada saja. menurut rasa kebahasaan (dzaq al-lughawy) baik dalam bahasa arab maupun dalam bahasa Indonesia kata samapai kepada (ila) mengisaratakan adanya kata dari pada ungkapan sebelumnya, baik secara tersirat maupun tersurat. Karena itu, apabila klausa itu berbunyi “ud’u ila sabili rabbik” ajaklah/serulah kepada jalan tuhanmu. Maka seolah me-muqaddar-kan ungkapan “ud’u al-nas min ghairi sabili rabbik ila sabili rabbik” ajaklah/surulah manusia dari selain jalan tuhanmu sampai menuju jalan tuhanmu. Atau “ud’u al-nas min sabili al-thagut ila sabili rabbik”ajaklah/suruhlah manusia dari jalan thagut(setan) kepada jalan tuhanmu.
Dalam ayat ini digunakan kata Rabb, dan tidak digunakan kata Allah, sebagaimana juga pada ayat 1 surah al-‘Alaq. Padahal kata Allah lebih agung dan lebih mulia dari pada kata Rabb. Mengapa demikian? Karena,
Pertama, ayat ini merupakan ayat perintah dakwa kepada Nabi SAW. Dimana dakwa bagian dari ibadah. Penggunaan kata Rabb akan lebih mendorong hati penerima perintah ibadah.
Kedua, perintah berdakwa kepada Nabi SAW, terutama ditunjukan kepada objek individu atau komunitas yang belum mengenal Allah dan belum mengenal kebenaraan yang bersumber dari Allah SWT. Dari analisa tafsir ini, dengan pengunaan kata Rabb maka keumuman dan keleluasan kata objek dakwa (kepada seluruh manusia) sebagai implikasi dari makna kata ud’u, menjadi sempit hanya kepada masyarakat obyek dakwa yang belum mengednal islam. Dengan kata lain, penggunan kata Rabb menjadi Takhsis, terhadap keumuman obyek dakwa .
2.    Tafsir Muadhu’iy tentang al-Hikmat
Menurut tafsir versi Depag, bi al-hikmat artinya perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dan yang bathil.  Sedangkan Ibnu Jarir Al-Thabari, sebagai referensi para mufassirin yang muncul dibelakangnya, berpendapat, maksud, bi al-hikmah adalah al-Qur’an dan Sunnah.
3.    Bentuk-bentuk Metode Dakwah
Merujuk kepada Q.S. an-Nahl :125, kita dapat mengambil pemahaman bahwa metode dakwah itu meliputi tiga cakupan, yaitu :
a.    Al-Hikmah   
Hikmah dalam dunia dakwah mempunyai posisi yang sangat penting, yaitu dapat menentukan sukses tidaknya dakwah. Sebagai metode dakwah, al-Hikmah diartikan bijaksana, akal budi yang mulia, dada yang lapang, hati yang bersih, dan menarik perhatian orang kepada agama atau Allah. Dapat dipahami bahwa al-Hikmah adalah merupakan kemampuan dan ketepatan seorang pendidik dalam memilih, memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objektif peserta didik. Al-Hikmah merupakan kemampuan pendidik dalam menjelaskan ajaran-ajaran Islam serta realitas yang ada dengan argumentasi logis dan bahasa yang komunikatif.
1)    Al-Hikmah dalam mengenal strata / golongan peserta didik.
Dalam menghadapi peserta didik yang beragam tingkat pendidikan, strata sosial, dan latar belakang budaya, para pendidik memerlukan hikmah, sehingga ajaran Islam mampu memasuki ruang hati para peserta didik dengan tepat. Oleh karena itu, para pendidik dituntut untuk mampu mengerti dan memahami sekaligus memanfaatkan latar belakangnya, sehingga ide-ide yang diterima dirasakan sebagai sesuatu yang menyentuh dan menyejukkan kalbunya.
Syeikh Muhammad Abduh menyimpulkan dari ayat Al-Qur’an di atas, bahwa dalam garis besarnya, umat yang dihadapi seorang pendidik dapat dibagi atas tiga golongan, yang masing-masingnya harus dihadapi dengan cara-cara yang berbeda pula, antara lain :
1. Golongan cerdik-cendekiawan yang cinta kebenaran dan dapat berfikir secara kritis, cepat dapat menangkap arti persoalan. Mereka ini harus dipanggil dengan “hikmah”, yakni dengan alasan-alasan, dengan dalil dan hujjah yang dapat diterima oleh kekuatan akal mereka.
2. Golongan awam, kebanyakan orang yang belum dapat berfikir secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian yang luas. Mereka ini dipanggil dengan “mauidzatun-hasanah”, dengan anjuran dan didikan yang baik dan mudah dipahami.
3. Golongan yang tingkat kecerdasannya di antara kedua golongan tersebut, belum dapat dicapai dengan “hikmah”, akan tetapi tidak akan sesuai pula bila dilayani seperti golongan awam. Mereka ini dipanggil dengan “mujadalah billati hiya ahsan”, yakni dengan bertukar fikiran, guna mendorong supaya berfikir secara sehat antara satu dengan yang lain dengan cara yang lebih baik.
2)    Al-Hikmah dalam arti kemampuan memilih saat bila harus berbicara, bila harus diam.
Pada satu saat boleh jadi diamnya pendidik menjadi efektif dan berbicara membawa bencana, tetapi di saat lain terjadi sebaliknya, diam malah mendatangkan bahaya besar dan berbicara mendatangkan hasil yang gemilang. Kemampuan pendidik menempatkan dirinya, kapan harus berbicara dan kapan harus memilih untuk diam juga termasuk bagian dari hikmah dalam mengajar.
Kesemuanya penting sekali dalam usaha pendidikan. Seorang pendidik dapat menghindari pemakaian tenaga yang terbuang-buang, sedangkan hasilnya tidak seberapa malah sering kali negatif.


3)    Al-Hikmah dalam mengadakan kontak pemikiran dan mencari titik temu dalam dakwah.
Sudah menjadi tabiat manusia pada umumnya sukar untuk menerima suatu pemikiran baru yang dirasakan sebagai pemikiran yang asing sama sekali. Orang lebih mudah menerima atau sekurang-kurangnya memberikan minat dan perhatiannya kepada sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan apa yang ada dalam pikiran dan perasaannya; yakni apa yang dikenal dalam ilmu jiwa dengan istilah “apersepsi”; ataupun sesuatu yang dirasakan langsung mengenai kepentingan mereka sendiri.
Seorang pendidik melakukan kontak dengan alam pikiran peserta didik yang dihadapinya. Untuk ini ia harus mengetahui bahan apersepsi apa yang ada, dan harus dapat pula ia menjangkaunya. Dengan demikian ia dapat membangkitkan minat, yang diperlukan guna selanjutnya menggerakkan daya fikir yang bersangkutan. Akan sulit bagi seorang pendidik memulai tugasnya apabila ia tidak mendapat kontak sama sekali.
Pendidik juga akan berhadapan dengan beragam pendapat dan warna di masyarakat. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Tidak hanya banyak perbedaan itu, sebenarnya ada titik temu di antara mereka. Kepiawaian pendidik mencari titik temu dalam heterogenitas perbedaan adalah bagian dari hikmah.
4)    Al-Hikmah dalam toleransi dengan tidak melepaskan shibghah!
Ada kalanya para pendukung dakwah Islam yang menemui satu atau lebih macam kepercayaan dalam suatu masyarakat, bersama-sama dengan para penganut kepercayaan itu saling mengelakkan konfrontasi, malah juga dalam soal pokok yang penting, seperti arkanul-iman, dan arkanul Islam ─ satu dan lainnya atas nama “toleransi”.
Pendidik juga akan berhadapan dengan realitas perbedaan agama dalam masyarakat yang heterogen. Kemampuan pendidik untuk bersifat objektif terhadap umat lain, berbuat baik dan bekerja sama dalam hal-hal yang dibenarkan agama tanpa mengorbankan keyakinan yang ada pada dirinya adalah bagian dari hikmah dalam dakwah.
5)    Al-Hikmah dalam memilih dan menyusun kata yang tepat.
Pendidik yang sukses biasanya juga berangkat dari kepiawaiannya dalam memilih kata, mengolah kalimat dan menyajikannya dalam kemasan yang menarik.
1. Qaulan Sadiedan
Sadied menurut lughat artinya adalah tepat, mengenai sasaran. Al-Qasyany menafsirkan istilah “qaulan sadiedan” dalam surat Al-Ahzab ayat 70 yakni kata yang lurus (qawiman); kata yang benar (haqqan); kata yang betul, tepat (shawaban).
Maka dapat disimpulkan dalam bidang pendidikan “qaulan sadiedan adalah kata yang lurus (tidak berbelit-belit), kata yang benar, keluar dari hati yang suci bersih, dan diucapkan dengan cara yang sedemikian rupa, sehingga tepat mengenai sasaran yang dituju, sehingga bidang pendidikan sampai mengetuk pintu akal dan kalbu para peserta didik yang dihadapinya”.
2. Qaulan Lay-Yinan
Qaulan Lay-yinan lazim diterjemahkan dalam bahasa kita dengan “kata yang lembut” atau “kata yang manis”. Qaulan Lay-yinan seperti yang dibawakan oleh Pembawa Risalah. Ia mengetuk otak dan hati sekaligus. Ia adalah suara yang dikendalikan oleh jiwa yang beriman. Cara dan gayanya tidak terlepas dari adab. Adab orang berkepribadian, yang bercelupkan “shibghatallah”.
6)    Al-Hikmah dalam arti Uswatun Hasanah dan Lisanul Hal.
Mendidik dengan Uswatun Hasanah adalah cara berdakwah dengan melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan pribadi dan kehidupan sosial di berbagai bidang yang dapat menjadi contoh teladan yang baik untuk peserta didik. Berdakwah dengan Lisanul Hal adalah cara berdakwah melalui perbuatan dan perilaku nyata yang dilakukan secara langsung oleh pendidik.
Pendidik tidak boleh hanya sekadar menyampaikan ajaran agama tanpa mengamalkannya. Seharusnya pendidiklah orang pertama yang mengamalkan apa yang diucapkannya. Kemampuan pendidik untuk menjadi contoh nyata umatnya dalam bertindak adalah hikmah yang seharusnya tidak boleh ditinggalkan oleh seorang pendidik. Dengan amalan nyata yang langsung dilihat oleh peserta didiknya, para pendidik tidak terlalu sulit untuk harus berbicara banyak, tetapi gerak dia adalah dakwah yang jauh lebih efektif dari sekadar berbicara.3
b.    Al-Mau’izha Al-Hasanah
Secara bahasa, mau’izhah hasanah terdiri dari dua kata, yaitu mau’izhah dan hasanah. Kata mau’izhah berasal dari kata wa’adza-ya’idzu-wa’adzan-idzatan yang berarti nasihat, bimbingan, pendidikan dan peringatan. Sementara hasanah artinya kebaikan.
Mau’izhah hasanah dapatlah diartikan sebagai ungkapan yang mengandung unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah, berita gembira, peringatan, pesan-pesan positif yang bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan agar mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat.
c.    Al-Mujadalah Bi-al-Lati Hiya Ahsan
Kata “jadala” dapat bermakna menarik tali dan mengikatnya guna menguatkan sesuatu. Orang yang berdebat bagaikan menarik dengan ucapan untuk meyakinkan lawannya dengan menguatkan pendapatnya melalui argumentasi yang disampaikan.
Dari segi terminologi (istilah) pengertian al-Mujadalah berarti upaya tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, tanpa adanya suasana yang mengharuskan lahirnya permusuhan di antara keduanya.
Dari pengertian di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa al-Mujadalah merupakan tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat.
Dalam dunia pendidikan, metode merupakan salah satu komponen yang sangat penting, yang mana komponen yang satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi. Metode pendidikan yang terkandung dalam QS. An Nahl ayat 125 adalah hikmah, mauidzoh hasanah dan mujadalah.
Bimbingan yang dilakukan harus dengan mempergunakan segala macam cara yang sebaik-baiknya (mauidhah hasanah), sehingga dengan penyampaian hikmah yang baik, maka hikmah itu bisa tertanam pada diri individu yang dibimbing. Di sisi lain usaha untuk menanggulangi kenakalan remaja ini juga dengan melakukan dialog (mujadalah) yang baik, manusiawi dalam membuka pikiran dan hati pihak yang dibimbing, sehingga muncul pemahaman, penghayatan, keyakinan akan kebenaran dan kebaikan syariat Islam dan mau menjalankannya
Metode diskusi juga diperhatikan oleh al-Quran dalam mendidik dan mengajar manusia dengan tujuan lebih memantapkan pengertian dan pengetahuan mereka terhadap suatu masalah. Perintah Allah dalam menggali manusia ke jalan benar harus dengan hikmah dan mau’izah yang baik dan membantah mereka dengan berdiskusi dengan mereka secara benar seperti dalam surah al-Nahl ayat 125
Korelasi ayat dengan tema ;
Dalam dunia pendidikan, metode merupakan salah satu komponen yang sangat penting, yang mana komponen yang satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi. Metode pendidikan yang terkandung dalam QS. An Nahl ayat 125 adalah hikmah, mauidzoh hasanah dan mujadalah. Bimbingan yang dilakukan harus dengan mempergunakan segala macam cara yang sebaik-baiknya (mauidhah hasanah), sehingga dengan penyampaian hikmah yang baik, maka hikmah itu bisa tertanam pada diri individu yang dibimbing. Di sisi lain usaha untuk menanggulangi kenakalan remaja ini juga dengan melakukan dialog (mujadalah) yang baik, manusiawi dalam membuka pikiran dan hati pihak yang dibimbing, sehingga muncul pemahaman, penghayatan, keyakinan akan kebenaran dan kebaikan syariat Islam dan mau menjalankannya.





C.    Q.S. Al-A’Araf (7) ayat 176-177           
    •    •                                   
176.  Dan kalau kami menghendaki, Sesungguhnya kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). demikian Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.
177.  Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim.

Ayat ini menguraikan keadaan siapapun yang melepaskan diri dari pengetahuan yang telah dimilikinya. Allah SWT menyatakan bahwa sekiranya Kami menghendaki, pasti Kami menyucikan jiwanya dan meninggikan derajatnya dengannya yakni melalui pengamalannya terhadap ayat-ayat itu, tetapi dia mengekal yakni cenderung menetap terus menerus di dunia menikmati gemerlapnya serta merasa bahagia dan tenang menghadapinya dan menurutkan dengan antusias hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya adalah seperti anjing yang selalu menjulurkan lidahnya.
Menarik untuk merenungkan ayat Al-Quran tersebut. Ayat sebelumnya (175) surat al-A’raf menceritakan tentang orang-orang yang telah didatangkan ayat-ayat Allah kepada mereka, tetapi dia kemudian melepaskan diri dari ayat-ayat itu.
Dalam Tafsir Al-Azhar, Prof. Dr. Hamka menjelaskan, bahwa orang-orang ini sudah terhitung pakar atau ahli dalam mengenal ayat-ayat Allah. Tetapi, rupanya, semata-mata mengenal ayat Allah saja, kalau tidak pandai mengendalikan hawa nafsu, maka pengetahuannya tentang ayat-ayat Allah itu satu waktu bisa tidak memberi faedah apa-apa, bahkan dia terlepas dari ayat-ayat itu. Ayat-ayat itu tanggal atau copot dari dirinya.
Dalam ayat ini, kata digunakan lafazh ‘insalakha’, arti asalnya ialah ‘menyilih’ (ganti kulit. Bahasa Jawa: mlungsungi untuk ular). Atau, ketika orang menyembelih kambing, maka dia kuliti dan dia tanggalkan kulit kambing, sehingga tinggal badannya saja. Ini juga disebut ‘insalakha’.
Masih tulis Hamka dalam tafsirnya: “Nabi disuruh menceritakan keadaan orang yang telah mengerti ayat-ayat Allah, fasih menyebut, tahu hukum halal dan hukum haram, tahu fiqih dan tahu tafsir, tetapi agama itu tidak ada dalam dirinya lagi. Allahu Akbar! Sebab akhlaknya telah rusak.”
“Maka syaitanpun menjadikan dia pengikutnya, lalu jadilah dia daripada orang-orang yang tersesat.” Kata Buya Hamka, rupanya karena hawa nafsu, maka ayat-ayat yang telah diketahui itu tidak lagi membawa terang ke dalam jiwanya, melainkan membuat jadi gelap.
Akhirnya dia pun menjadi anak buah pengikut syaitan, sehingga ayat-ayat yang dia kenal dan dia hafal itu bisa disalahgunakan. Dia pun bertambah lama bertambah sesat. Seumpama ada seorang yang lama berdiam di Makkah dan telah disangka alim besar, tetapi karena disesatkan oleh syaitan, dia menjadi seorang pemabuk, dan tidak pernah bersembahyang lagi.
“Maka, karena dia telah sesat, dipakainyalah ayat Al-Quran yang dia hafal itu untuk mempertahankan kesesatannya, dengan jalan yang salah. Dia masih hafal ayat-ayat dan hadits itu, tetapi ayat dan hadits sudah lama copot dari jiwanya, dan dia tinggal dalam keadaan telanjang. Na’udzubillah min dzalik,” demikian tulis Hamka dalam tafsir terkenalnya.
Terhadap manusia jenis ini, al-Quran menggunakan perumpamaan dan sebutan yang sangat buruk, yaitu mereka diumpakan sebagai anjing. Hamka memberi uraian terhadap tamsil orang yang menukar kebenaran dengan kekufuran ini: “Laksana anjing, selalu kehausan saja, selalu lidahnya terulur karena tidak puas-puas karena tamaknya.
Walaupun dia sudah dihalaukan pergi, lidahnya masih terulur, karena masih haus, karena masih merasa belum kenyang, dan walaupun dibiarkan saja, lidahnya diulurkannya juga.
Cobalah pelajari dengan seksama, mengapa maka binatang yang satu itu, anjing, selalu mengulurkan lidah? Sebabnya ialah karena tidak pernah merasa puas. Lebih-lebih pada siang hari, di kala panas mendenting-denting. Anjing mengulurkan lidah terus, karena selalu merasa belum kenyang, karena hawanafsunya belum juga terpenuhi.”
Tamsil Al-Quran tentang anjing untuk orang-orang yang membuang kebenaran dan mengikuti kebatilan ini sangat penting untuk kita renungkan, mengingat kita melihat satu fenomena aneh di Indonesia, banyaknya orang-orang yang dulunya belajar agama di institusi-institusi pendidikan Islam, mengerti ayat-ayat Allah, tetapi akhirnya justru menjadi garda terdepan dalam melawan dan melecehkan ayat-ayat Allah sendiri.
Ini tidak bisa disalahkan pada lembaga pendidikannya begitu saja, tetapi perlu ditanyakan, mengapa ada manusia yang menjual kebenaran, membuang kebenaran yang telah diketahuinya, dan kemudian memilih menjadi ‘anjing’ sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran.
Peringatan Allah SWT tersebut sangat penting untuk direnungkan oleh siapa saja. Oleh kita semua. Agar kita tidak masuk ke dalam kategori ‘anjing’ yang menjulur-julurkan lidahnya.Kita mengingatkan saudara-saudara kita, yang mungkin lupa akan peringatan Allah tersebut. Agar kita tidak mudah menjual ayat-ayat Allah, membuangnya, bahkan tak segan-segan menjadi garda terdepan dalam menghujat dan memutarbalikkan kebenaran.
Kita, misalnya, berkewajiban mengingatkan orang yang mengerti ayat-ayat Allah, malah menjadi penghujat ayat-ayat Allah itu sendiri, hanya karena terpesona dan terkagum-kagum oleh satu atau dua tulisan kaum orientalis yang melakukan studi Al-Quran.
Dari ayat ini dapat dilihat bahwa sejak awal Allah menghendaki manusia untuk menjadi hamba-Nya yang paling baik, tetapi karena sifat dasar alamiahnya, manusia mengabaikan itu. Ini memperlihatkan bahwa pada diri manusia itu terdapat potensi-potensi baik, namun karena potensi itu tidak didaya gunakan maka manusia terjerebab dalam lembah kenistaan, bahkan terkadang jatuh pada tingkatan di bawah hewan.
Mengapa menghapal Qur'an, karena Al Qur'an menyeru kita untuk merenungkan dan memikirkan banyak hal, dari mulai penciptaan langit dan bumi, memikirkan tentang penciptaan manusia hingga penciptaan segala sesuatu yang ada disekitar kita agar iman kita bertambah dan berpadu dengan ilmu. Al qur'an menyeru manusia untuk berpikir, merenung dan menggunakan akal, supaya mereka mengenal kekuasaan Allah yang sangat agung dan mengenal alam raya tempat ia hidup. Semua itu akan mengantarkannya pada pengenalan akan Allah (ma'rifatullah) dengan sebaik-baik pengenalan. Allah juga membedakan orang yang berpikir dan mendayagunakan akal dengan orang selain mereka (yang tidak mendayagunakan nikmat allah). Allah berfirman : "Katakanlah, samakah orang yang buta dengan orang yang melihat. Tidakkah kamu sekalian berfikir ?" (QS : Al An'am, 6 : 50). Selain itu ada pula ajakan agar kita berfikir tentang kisah-kisah nyata yang Allah ceritakan. Firmannya : "Maka ceritakanlah tentang kisah-kisah itu agar mereka berfikir". (QS. Al A'raf, 7 : 176). Metode menghapal Al Qur'an juga menumbuhkan kemampuan berfikir cerdas (Thinking Skill), kecerdasan emosional, dan kecerdasan intelektual.
D.    Surah Ibrahim ayat 24-25
                  •        ••   
24.  Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah Telah membuat perumpamaan kalimat yang baik  seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,
25.  Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.
Salah satu metode yang digunakan al-Qur’an dalam menyampaikan pesan-pesannya adalah metode perumpamaan. Dalam termologi Ulum al-Qur’an, metode ini disebut amsal al-Qur’an.
Dalam ayat 24 diatas, Allah SWT mengumpamakan Kalimah thayyibah dengan sebuah pohon yang baik. Akarnya kuat menembus ke dasar bumi, sedangkan rantingnya menjulang keangkasa. Yang dimaksud dengan akarnya yang kokoh, tawhid yang diformulasikan dalam kalimah thayyibah, terhujam dalam hati seorang mukmin. Sedangkan yang dimaksud cabang yang menjulang keangkasa, bahwa amal shaleh yang ditimbulkan oleh kalimah thayyibah memancarkan kemana-mana kesetiap penjuru angin. Tujuan Allah SWT memberikan gambaran perumpamaan ini sebagaimana dijelaskan di akir ayat agar manusia berpikir dan selalu mengingat-Nya. Makna dibalik perumpamaan tersebut bahwa seorang mukmin memiliki akar tawhid yang kuat, yang akan membuahkan amal shaleh setiap saat.
Konsep tarbawi yang tersimpul dalam ayat diatas, bahwa perumpamaan adalah salah satu metode yang dapat diterapkan dalam proses pendidikan dan pengajaraan. Melalui ungkapan pemisalaan, anak didik anak mudah memahami materi pelajaraan dan akan lebih terdorong untuk melakukan karya-karya yang nyata dan positif. Gambaran perumpaman pada ayat di atas tentang pohon bagus dan akarnya kuat menembus bumi dan cabang serta rantingnya menjulang keangkasa untuk sebuah kalimah thayyibah, bertujuan agar obyek yang diajak lebih gampang memahani pentingnya memiliki prinsip tawhid yang kuat dalam menempuh perjalanan kehidupan di dunia.




   

BAB III
PENUTUP
Surat Al-Maidah ayat 67 :
Dalam ayat di atas menjelaskan bahwa kita selaku umat nabi Muhammad S.A.W harus meniru dan mensuri tauladani akhlak nabi Muhammad s.a.w, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Bagi keluarga dan orang tua hendaklah mendidik anaknya dengan cara meniru akhlak rosululloh sehingga terciptalah norma-norma islam dan kepribadian dalam diri anak tersebut. Dalam ayat ini menggunakan metode suri tauladan dalam ruang lingkup pendidikan.
Surat Al-A’raf ayat 176-177
Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa bagi orang-orang yang mengamalkan ayat-ayat Allah akan di tinggikan derajatnya, dan apabila bagi orang-orang yang tidak mengamalkan ayat-ayat Allah karena cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa narfsunya. maka Allah tidak akan memberikan hidayah baginya. Orang yang seperti itu diumpamakan seperti seekor anjing apabila dihalau ia mengululurkan lidahnya dan apablia dibiarkan ia mengulurkan lidahnya pula. Begitu hinanya orang yang tidak mengamalkan ayat-ayat Allah sehingga Allah akan memberikan peringatan kepada orang yang demikian itu. Dalam ayat ini menggunakan metode cerita dalam ruang lingkup pendidikan.
Surat Ibrahim ayat 24-25
Ayat tersebut di atas memberikan gambaran kepada kita untuk merenungi dan mentafakuri ciptaan Allah agar dapat diambil hikmah dan pelajarannya. Seperti ayat-ayat Allah yang memiliki kandungan-kandungan makna yang tersirat. Dan metode pengajaran dalam ayat ini adalah kontemplasi.
Surat An-Nahl ayat 125
Dalam ayat di atas terdapat beberapa metode pengajaran, yaitu :
1. Metode hikmah (pelajaran)
2. Metode nasihat yang baik
3. Metode bantahan yang baik dan perkataan yang lemah lembu
DAFTAR PUSTAKA
Al-Razi, Fakhr al-Din, Tafsir al-farabi, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1976.
Gozali, Nanang. Tafsir Tarbawi. Penerbit IAIN SYEKH NURJATI : Cirebon. 2011.
Gozali, nanang. Manusia, Pendidikan, dan Sains. PT Rineka Citra : Jakarta. 2004.
Departement Agama RI, Tafsir dan Terjemhannya, (Jakarta: Depag, 1984), hal. 789
Ibn Jarir al-thabari, Tafsir al-Thabari, Jilid XIII, hal 123.
http://jarimatikaplus.blogspot.com/2009/10/metode-pendidikan-menurut-quran.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar